![]() |
Forum diskusi LS-ADI gelar aksi teatrikal dalam rangka tolak RUU Kamnas di depan gedung DPR RI, Rabu (3/10) |
Rancangan
Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) mendapat penolakan dari berbagai
kalangan di Indonesia. Mulai dari masyarakat, LSM, pakar politik hingga
beberapa anggota dewan turut keberatan dengan adanya RUU Kamnas. Pasalnya, ada
beberapa poin dalam RUU tersebut yang dianggap berpotensi mengebiri demokrasi
dan seakan-akan mengembalikan Indonesia ke jaman Orde Baru.
Menurut Anggota
dewan pakar RUU Kamnas yang sekaligus Direktur Institut Kebajikan Publik, Andar
Nubowo mengatakan, adanya RUU Kamnas akan menimbulkan masalah baru. Ia melihat,
adanya otoritas dan militerisasi dewan keamanan akan menimbulkan sektor
keamanan seperti Orde Baru.
Seperti yang
tercantum dalam pasal 17 dan 54, tentara dan badan intelijen berhak mengamankan
siapa saja yang dikategorikan mengganggu keamanan negara. “Dengan adanya
otoritas seperti itu, dengan mudah seseorang dicap, diawasi bahkan ditangkap
dengan alasan mengganggu keamanan,” tutur Andar yang juga dosen Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik (FISIP) UIN Jakarta, Minggu (14/10).
Andar
menambahkan, adanya RUU ini, berarti akan mengancam kehidupan demokrasi dan
kebebasan berekspresi serta menyampaikan pendapat. “Jelas-jelas ini sangat
bertentangan dengan semangat reformasi dan pilar demokrasi,” tegasnya.
Senada dengan
Andar, Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) juga menolak
lahirnya UU Kamnas. Salah satu forum diskusi mahasiswa asal Ciputat menilai,
jika RUU tersebut disahkan mereka khawatir kehidupan militer akan masuk ke
dalam sendi kehidupan masyarakat sipil, seperti rezim Soeharto.
“RUU Kamnas
akan mengancam kehidupan kritis dan tradisi demokrasi masyarakat sipil seperti,
jurnalis, petani, buruh, dan mahasiswa,” jelas Saiful ketika melakukan aksi
teatrikal, menolak RUU Kamnas di depan gedung DPR RI, Rabu (3/10).
Sistem keamanan
seperti itu akan mengekang demokrasi sehingga masyarakat tidak dapat
mengekspresikan pendapatnya dalam berbangsa dan bernegara. Apalagi, menurut
Saiful, dalam RUU Kamnas, terlihat jelas misi utamanya yakni, mengamankan
seluruh pembangunan nasional dari berbagai ancaman, hambatan, dan gangguan,
demi mengundang investasi.
Hal tersebut
seperti yang tercantum pada misi pasal 20 poin 3, UU Kamnas nantinya digunakan
untuk melindungi kepentingan bisnis kelompok tertentu. Dengan menggunakan
terminologi UU Kamnas, maka ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap
pembangunan nasional pasti disebut sebagai ancaman keamanan nasional.
Saiful menilai, hal ini kemudian berimbas pada penjabaran definisi ancaman
nasional, dan sangat berpihak untuk kepentingan investor asing. Dalam Master
Plan Perluasan dan Percepatan Ekonomi Indonesia (MP31), eksplorasi sumber
daya alam dan energi di seluruh negeri ini akan dikuras habis-habisan oleh
investor asing.“Untuk memuluskan MP3EI, maka dibuatlah RUU Kamnas,” ungkap
Saiful.
Sedangkan
menurut Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin selaku pihak dari
perwakilan pemerintah mengatakan, UU Kamnas dibuat bukan untuk mengembalikan
sistem pemerintahan pada jaman Orde Baru, yakni sistem militerisasi. UU
tersebut, kata dia, diikat berdasarkan prinsip penegakan hukum yang
mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) dan supremasi sipil.
“Saya tegaskan,
pertama, UU ini sudah diikat oleh prinsip penegakan hukum, HAM dan suplemasi
sipil. Kedua, UU kamnas tidak mengatur secara teknis. Tetapi, memberi arahan
strategis,” tegasnya usai diskusi fraksi PKB yang bertajuk Menegakkan Supremasi
Sipil dan Kedaulatan NKRI dalam RUU KAMNAS, di Gedung DPR RI, Selasa (9/10).
Namun, menurut
Andar, masih banyak poin dalam RUU Kamnas yang tidak sesuai dengan prinsip
penegakan hukum. Malah cenderung menguntungkan satu pihak saja, yakni, dewan
keamanan dan para pengusaha yang bermain di dalamya.
Menurut Andar,
RUU ini harus dibatalkan jika isinya tidak sesuai dengan sistem HAM, demokrasi,
dan supremasi sipil. “Sebaiknya RUU Kamnas direvisi dan dikaji ulang karena
masih terdapat pasal-pasal yang tidak sesuai dengan semangat reformasi dan
pilar demokrasi,” papar Andar. (Nur Azizah)