Untuk
menunjukan betapa pentingnya jiwa kepemimpinan, Gipsy Volunteer, sebuah
komunitas sosial kemanusiaan menggelar latihan
kepemimpinan bertema “Leadership with a
Difference” pada Minggu (7/10). Acara yang diadakan di aula lantai dua
Masjid Fathullah itu menghadirkan tiga pelatih internasional, Yusnawati, Fazida
A. Razak, dan Jasmin M. Simon.
Dalam
sambutan pembukaannya, Lisda Pangestu, ketua pelaksana pelatihan
mengatakan, sudah seharusnya setiap orang memiliki jiwa kepemimpinan,
karena manusia adalah mahkluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain. “Jika
manusia memiliki jiwa kepemimpinan, dia akan mampu memilih mana yang baik dan
yang tidak,” katanya.
Sebelum memasuki acara inti,
Yusrawati, pelatih pertama membagi peserta menjadi tiga kelompok. Ia
memerintahkan, bagi peserta yang merasa karakternya mirip dengan St. Bernard’s,
salah satu jenis anjing yang dikenal baik, agar berkumpul di kelompok pertama.
Sedangakan,
bagi mereka yang merasa karakternya mirip dengan sang raja hutan, singa, berada
di kelompok kedua, dan kelompok ketiga diperuntukkan bagi peserta yang merasa
karakternya mirip dengan rubah, binatang yang penuh pertimbangan.
Setelah peserta duduk di kelompok
masing-masing, Yusra meminta mereka mengisi angket yang telah dibagikan sebelum
acara dimulai. Angket tersebut berisikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan sikap yang akan peserta ambil ketika dihadapkan pada suatu kejadian.
Angket terdiri dari enam
pertanyaan yang dibagi menjadi dua bagian. Tiga pertanyaan pertama berkaitan
dengan sikap yang akan dipilih ketika peserta dalam keadaan nomal, dan tiga
pertanyaan terakhir saat peserta dalam keadaan di bawah tekanan. Setiap
pertanyaan memiliki tiga kolom jawaban yang harus di isi dengan angka yang bila
dijumlah menjadi sepuluh.
Awalnya, peserta hanya diminta
mengisi tiga pertanyaan pertama, dan menjumlahkan setiap kolomnya. Setelah itu,
peserta yang memiliki jumlah terbanyak di kolom pertama diminta bergabung
dengan kelompok St. Bernard’s.
Bagi mereka yang jumlah
terbanyaknya berada di kolom kedua bergabung dengan kelompok singa. Sedangkan
kelompok rubah yaitu untuk mereka yang memiliki score tertinggi di kolom tiga.
Setelah pengisian angket,
sebagian besar peserta pindah dari kelompok asalnya. Banyak peserta yang
awalnya merasa berkarakter seperti singa berpindah ke kelompok St. Bernard’s
atau rubah, dan sebaliknya. “Inilah karakter kalian yang sebenarnya,” tutur
Yusra.
Kemudian, peserta diminta mengisi
tiga pertanyaaan selanjutnya, dan menjumlahkannya lagi. Sama halnya dengan tiga
pertanyaan pertama, peserta akan diminta pindah sesuai dengan jumlah skor
terbesar yang mereka dapat pada setiap kolom. Dari hasilnya, ternyata banyak
peserta yang berpindah kelompok. “Memang kadang karakter manusia bisa berubah
jika sedang dibawah tekanan,” jelasnya.
Setelah angket selesai diisi, dan
peserta berada di kelompok barunya, lalu mereka mendapatkan penjelasan maksud
dari ketiga kelompok. Penjelasan tersebut disampaikan oleh pelatih kedua,
Fazida A. Razak.
Pentingnya
Komunikasi dalam Kepemimpinan
Fazida mengatakan, setiap manusia
memiliki cara berkomunikasi yang berbeda-beda, baik itu gaya St. Bernard’s,
gaya singa maupun gaya rubah. Menurutnya, tidak ada yang lebih baik dari ketiga
gaya tersebut. Setiap gaya memiliki ciri khasnya masing-masing.
Ia menambahkan, cara
berkomunikasi setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Menurutnya,
kelebihan itu lah yang juga menjadi kekurangannya. “Misalnya orang yang bergaya
rubah, biasanya adalah orang yang adil. Namun, keadilannya ini terkadang
membuatnya tidak mempertimbangkan perasaan ketika membuat keputusan”.
Begitupun dengan orang yang
memiliki gaya komunikasi singa. Mereka memang memiliki kepercayaan diri yang
tinggi. Namun, jika mereka terlalu berlebihan menanggapi kepercayaan dirinya,
mereka akan menjadi sombong. “Sedangkan orang yang bergaya St. Bernard’s
merupakan tipe yang mudah mempercayai orang lain. Oleh karena itu, mereka juga
kadang mudah tertipu,” tambahnya.
Pelatih ketiga, Simon M. Jasmin
juga menjelaskan, komunikasi adalah sesuatu yang sangat penting. Dengan
komunikasi yang baik, kebiasan dalam organisasi dapat dihindari.
Menurutnya, agar komunikasi diterima baik oleh orang lain, seorang
pemimpin harus mengerti kondisi dimana ia berkomunikasi.
Selain itu, ketika berkomunikasi,
seorang pemimpin tidak boleh hanya mengandalkan komunikasi lisan. “Karena
orang-orang hanya akan menerima tujuh persen saja kalau hanya dari perkataan,”
tuturnya.
Oleh karena itu, komunikasi
visual sangat dibutuhkan, misalnya ekspresi wajah. Di samping komunikasi
visual, suara dan kepercayaan diri juga diperlukan seorang komunikator. Ia
mengatakan, kedua hal itu dapat menjaga perhatian publik.
Debi Ratna Wati, salah satu
peserta dari Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) mengaku senang telah mengikuti
pelatihan tersebut, karena ia mendapat pengetahuan baru. “Kita jadi tahu
seperti apa karakter kita sebenarnya.” Selain itu, menurutnya, panitia dan
pembicara mengemas acara ini dengan baik. Sehingga, tidak menyebabkan peserta bosan. (Siti Ulfah
Nurjanah)