Kampus UIN, INSTITUT – Jurnalisme
Islam adalah jurnalisme
yang mempraktikkan keempat
akhlak mulia Rasulullah
Muhamad SAW, yakni sidiq,
tabligh, amanah, dan fathonah. Selain itu, Jurnalisme Islam
pun disebut sebagai
Prophetic Journalism
atau Jurnalisme Kenabian, yaitu jurnalis
yang mengemban tugas
kenabian.
Selain itu,
ciri dari Prophetic Journalism
adalah mengungkap kebenaran, menegakkan keadilan, mendukung terbentuknya
kesejahteraan, menciptakan perdamaian,
serta menjunjung tinggi
kemanusiaan. Hal tersebut diungkap
oleh mantan Pemimpin
Umum Republika, Parni Hadi di
gedung National Information
and Communication Technology
(NICT) Kertamukti, Ciputat, Selasa (23/10).
Ia menjelaskan, dalam hal ini jurnalisme Islam
memiliki empat penafsiran. Penafsiran pertama
adalah praktik jurnalistik
yang dilakukan oleh orang-orang Islam. Kedua, praktik jurnalistik
dilakukan oleh orang
Islam berdasar al-Qur’an
dan Hadis dengan
misi memperjuangkan kepentingan
umat Islam. Ketiga, praktek jurnalistik
yang dilakukan orang Islam tidak
hanya berdasar al-Qur’an
dan Hadis, tapi juga
ideologi lain dan
tujuannya untuk kepentingan seluruh manusia. Sedangkan penafsiran
terakhir, praktik jurnalisme yang
dilakukan orang Islam
dan non Islam
bertujuan untuk membela
kebenaran dan keadilan seluruh umat manusia.
Bagi Parni, tidak ada yang
terbaik dari keempat
penafsiran jurnalisme Islam
di atas. “Menurut sabda
Rasululah, sebaik-baik
manusia adalah yang
paling bermanfat bagi
orang lain. Sekalipun mengusung
panji-panji Islam , namun tidak
bermanfaat bagi orang
lain, ia belum bisa
disebut sebagai jurnalisme
Islam, ” jelasnya.
Dalam hal ini ia memberikan contoh dari jurnalistik Islam tersebut.
Adapun contohnya seperti Harian
Republika, majalah UMMAT (alm),
harian ABADI, IRIB (Islamic Republic
of Iranian Broadcasting)
dan IINA (International Islamic
News Agency).
Sementara itu, guru besar
Ilmu Komunikasi Universitas
Indonesia (UI), Ibnu Hamad menuturkan,
media massa Islam
saat ini berada
jauh di belakang
media umum. Namun, media bernafaskan
Islam harus tetap disyukuri
keberadaannya karena media
masa kini banyak
yang jauh dari
Maqashidus Syariah, yakni menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
Ibnu berharap, media Islam tak hanya terkenal melalui media cetak dan
elektronik. Tapi juga harus dikembangkan melalui internet. “Misalnya melalui
mikroblog atau streaming media. Asalkan apa
yang disampaikan media
tidak melenceng dari
Maqashidus Syariah,” ungkapnya.
Rubiyyanah, ketua panitia seminar yang bertema “Mencari Akar Islam Dalam
Tradisi Jurnalisme di Indonesia” menuturkan, seminar yang diadakan di NICT tersebut
dilangsungkan guna mencari
eksistensi jurnalisme Islam
agar menghadirkan wacana bernafas Islami
ke depannya untuk masyarakat. “Apalagi,
penyebar berita yang
jujur dan beriman
di masa kini
semakin lama semakin
berkurang,” keluhnya.
“Maka itu kita perlu
mengembangkan
mahasiswa-mahasiswa universitas Islam, khususnya Fakultas
Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM) Jurusan
Jurnalistik, agar menjadi para
penyebar berita yang
berpedoman kepada hadis
dan al-Qur’an,” tambahnya.
Mahasiswi Jurusan Jurnalistik semester 3 , Elsa
Faturrahmah mengatakan,
seminar yang diadakan
selama dua hari, yakni
23-24 Oktober 2012 sangat bermanfaat, meskipun memberikan
kesan membosankan. “Kesan saya setelah mengikuti
seminar ini adalah
munculnya penilaian terhadap
jurnalisme Islami. Ternyata Jurnalisme
Islami tidak berbeda
dengan jurnalis umum.
Jika jurnalisme Islam
harus independen, jurnalisme umum
juga demikian. Jurnalisme Islam harus
taat pada kode
etik, jurnalisme umum pun
demikian,” ucapnya, Rabu (24/10). (Gita Juniarti)