Judul : Media Massa dan Konstruksi Realitas
Penulis : Kun Wazis
Penerbit : Aditya Media Publishing Yogyakarta
Tebal : viii + 202 halaman
Tahun terbit : Cetakan I Juni 2012
ISBN : 978-602-946138-1
Harga : Rp. 35.000,-
“Apa yang dikatakan pers hampir selalu dipercaya oleh publik. Begitu hebatnya pers, sehingga seandainya siang dikatakan pers malam pun, masyarakat (terutama yang lugu) akan mempercayainya.” (KH Mustofa Bisri dalam Media Massa dan Konstruksi Realitas: 12).
Begitulah media massa mampu mengonstruksi pemikiran khalayak dengan berita yang disampaikannya. Namun sayang , dalam praktiknya, media masa tidak selalu menyajikan pendekatan yang positivistik. Bahkan cenderung memberitakan yang bukan realita.
Dalam buku Media Massa dan Konstruksi Realitas, Kun Wazis memaparkan realita media massa dari kapitalisasi media, nilai berita, kode etik, hingga ekploitasi kaum hawa dalam media. Kun memaparkan fenomena media di Indonesia saat ini, baik media cetak maupun elektronik. Berbagai macam cara digunakan media massa dalam menyampaikan berita untuk menyampaikan informasi dan menarik perhatian pemirsa. Sayangnya, cara mereka menarik perhatian para pemirsa tak jarang menciptakan sebuah sisi negatif.
Produk jurnalistik saat ini seakan-akan memang telah melewati batas norma dan etika. Misalnya, media massa kerap menempatkan kaum hawa sebagai salah satu komoditas yang bisa dieksploitasi. Dengan berdalih menarik konsumen, tak jarang perempuan menjadi ikon yang menjurus pada pornografi. Lebih berbahaya lagi, sebagian kaum perempuan yang menjadi bahan eksplorasi negatif ini tidak menyadari bahwa kepentingan kapital perusahaan media telah menjerumuskan kaum hawa pada martabat yang rendah.
Selain mengeksploitasi perempuan, tidak sedikit wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yakni larangan untuk mencampuradukkan fakta dan opini. Secara prinsip, kaidah ini sangat baik, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa para wartawan kadangkala menggiring komentar narasumber ke arah opini yang dikehendakinya, sehingga berita tampak bias dan tak berimbang. Ditambah lagi dengan kemunculan wartawan-wartawan amplop—Istilah untuk wartawan yang gampang disuap narasumber .
Selain mengupas keganjilan-keganjilan yang dilakukan media, buku Kun Wazis ini juga mengulik tentang kapitalisasi media. Kapitalisasi media mengakibatkan pengusaha media tidak hanya sekadar berorientasi pada pemenuhan hak masyarakat akan terpenuhinya informasi, tetapi juga berorientasi untuk mengejar keuntungan ekonomi.
Pada bab terakhir, penulis mengekankan kepada publik bagaimana media bersifat seperti pisau bermata dua. Di satu sisi bisa bermakna positif, namun di sisi lain bisa berkonotasi negatif. Penulis menyampaikan hal itu karena media secara tak langsung telah terlihat sebagai tuntunan hidup masyarakat dan betapa cepat media mempengaruhi hidup masyarakat.
Kelebihan yang dimiliki buku ini adalah penyajian pasal-pasal mengenai penyiaran dan kejurnalistikkan dari halaman 149 hingga 199. Pasal-pasal di halaman terakhir berfungsi sebagai landasan penulis untuk mengkritik konstruksi realita media massa saat ini. Sedangkan kekurangan yang dimiliki buku ini adalah penyajian opini penulis yang terkadang bias dengan realita di lapangan saat ini. Seperti contoh kalimat di halaman 74 berikut:
“Hadirnya praktik suap di balik proses pencarian berita yang dilakukan oleh oknum jurnalis telah memperbutuk citra diri pers di Indonesia. Kenyataan ini seperti belum bisa diredam karena pada saat bersamaan berdiri berbagai jenis media massa di Indonesia tanpa diiringi ketatnya aturan dalam pendirian perusahaan pers. Alhasil, lahir dan tumbuh tokoh-tokoh pers yang tidak berlatar belakang ilmu jurnalistik, sehingga diragukan komitmen mereka dalam memegang teguh UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik”.
Wartawan di Indonesia tidak seluruhnya mempelajari dasar-dasar ilmu jurnalistik, tapi belum tentu mereka tumbuh menjadi tokoh pers yang diragukan komitmennya. Jika kita menengok ke Harian Republika, wartawan yang bekerja di sana kurang lebih sarjana dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan tidak menyandang gelar sarjana Ilmu Komunikasi. Sedangkan untuk Harian Kompas, mereka tidak mencari wartawan yang ahli dalam bidang jurnalistik saja, tapi juga yang berkutat di bidang Kesehatan Masyarakat, Ekonomi, Hubungan Internasional, dan MIPA.
Kenyataan bahwa media massa di Indonesia saat ini sering dijadikan sebagai tuntunan hidup, menjadi ironi jika yang disajikan media massa baik merupakan sebuah kebohongan. Dengan membaca buku ini, Kun Wazis ingin menyadarkan kita bahwa jadilah pembaca yang baik dan kritis atau melek media. Apalagi di tengah derasnya arus informasi yang dialirkan oleh media massa. Masyarakat harus bisa memahami maksud dan tujuan media tersebut ketika membingkai peristiwa dalam konstruksi berita. Harapannya, publik terus terdorong untuk melakukan kontrol terhadap media.