Beredarnya film Innocence of Muslim di dunia maya menuai
aksi reaktif dari kalangan umat Islam di dunia. Pun dengan di Indonesia.
Berbagai protes tak henti-hentinya digalakan sebagai bentuk respon mereka atas
film yang disutradarai Nakoula Basseley Nakoula ini.
Mereka merasa film tersebut menyudutkan agama Islam.
Tapi, amat disayangkan mereka meluapkannya dengan bersikap anarkis tanpa
berpikir mencari solusi terbaik yang mengedepankan nilai-nilai keislaman.
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF), Zainun
Kamal mengatakan pada dasarnya Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan pada
hamba-Nya. Hanya saja, kekerasan atau anarkisme selalu disalahartikan oleh
sebagian besar umat Islam. baik anarkis pada sesama muslim ataupun non muslim.
Bila dicermati, pelecehan terhadap Islam ini kian marak
terjadi, itu mungkin dikarenakan umat Islam yang salah dan tidak pernah
berinstropeksi. Di Indonesia sendiri, tak sedikit rumah ibadah dihancurkan dan
pengeboman di saat perayaan hari-hari besar keagamaan. “Jadi sangat wajar jika
mereka pun menyerang umat Islam,” tuturnya.
Tindakan-tindakan seperti ini sebenarnya tidak
merefleksikan ajaran Islam. Padahal sudah termaktub dalam Al-Quran, “Jangan
sekali-sekali kau mencaci Tuhan mereka, sebab itu sama halnya membenci Allah.”
Selanjutnya, Zainun mengatakan, semakin umat Islam
bersikap anarkis, maka mereka akan semakin tertawa dan menganggap umat Islam
sebagai umat yang identik dengan kekerasan. Bila hal ini tetap berlangsung,
lambat laun mereka akan mengetahui rahasia umat Islam. “Sesama muslim saja
tidak bisa damai, apalagi dengan agama lain,” cetusnya.
Kini, agama dijadikan sebagai alat untuk menjelek-jelekan
agama lain. Seharusnya, hal ini bisa dicermati dan diantisipasi oleh umat
Islam. Tentunya, dengan cara memberikan jawaban-jawaban postif, bukan dengan
sikap anarkis.
Ia menjelaskan, masih banyak di antara umat Islam yang
belum mengerti apa itu Islam, bahkan mereka hanya sebatas ikut-ikutan.
Hasilnya, intelektualitas tak lagi menjadi prioritas. Yang ada, mereka lebih
gemar menampakkan sikap anarkis. “Padahal anarkis itu tidak akan menghentikan
propaganda,” tegasnya.
Baginya, umat Islam harus melakukan protes terhadap
beredarnya film Innocence of Muslim ini, tetapi harus dengan cara yang lebih
mengedepankan intelektualitas. Seperti lewat tulisan, megadakan sidang di PBB
terkait regulasi antar agama, dan lain-lain. Justru, dengan cara-cara seperti
itulah yang menandakan jiwa seorang muslim.
Islam merupakan mayoritas, tetapi menurutnya umat Islam
selalu takut dengan minoritas. Untuk mengatasi hal tersebut, umat Islam harus
mampu mengimplementasikan seluruh nilai-nilai Islam dalam setiap sendi
kehidupan.
Hal berbeda diungkapkan Muhbib Abdul Wahab, Pembantu
Dekan (Pudek) Bagian Kemahasiswaan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Menurutnya, umat Islam berhak marah dalam menyikapi film yang berdurasi sekitar
dua jam ini.
Terlebih, film ini mempertontonkan adegan yang
bersifat menghina bahkan menistakan Nabi Muhammad SAW. “Pantaslah, jika umat
Islam marah dan melakukan protes. Tapi, harus tetap berada dalam koridor yang
wajar,” katanya.
Muhbib menambahkan, seharusnya umat Islam menunjukan
kemarahannya dengan cara-cara yang positif, seperti memberikan penjelasan dan
pemahaman tentang Islam yang sebenarnya. Tujuannya untuk meleburkan asumsi
negatif yang kini tersemat pada Islam.
Terkait anarkisme, Muhbib berpendapat, anarkisme itu
terjadi bukan tanpa sebab, pasti ada pemicunya. Mungkin, dikarenakan
keadilan yang tak kunjung mereka rasakan terkait film kontroversial itu. “Kalau
sebatas lemparan-lemparan doang sih masih wajar,” katanya.
Ia juga menilai, citra Islam akan semakin buruk di mata
dunia. Pasalnya, tak sedikit umat Islam yang melakukan protes dengan cara
anarkis. Alhasil, fenomena ini pun menambah catatan buruk tentang kredibilitas
umat Islam.
Ditunjang dengan peran media yang cukup signifikan.
Apalagi, media visual yang memang lebih kuat dibanding audio. Secara umum, ia
melihat hubungan antara Barat dan Islam belum menemukan titik harmoni. “Barat
itu memposisikan Islam sebagai musuh apalagi dalam hal politik,”tuturnya.
Untuk itu, di sinilah peran ulama, pemerintah, dan
akademisi untuk menghadirkan Islam yang lebih sejuk lagi rahmatan lil ‘alamin,
sehingga bisa diterima semua golongan dan sanggup mempengaruhi wacana dunia
tentang Islam. Tak hanya itu, pada level internal, sepatutnya umat Islam
melakukan edukasi intensif tentang Profil Nabi Muhammad SAW untuk
mengantisipasi timbulnya sikap fanatisme berlebih yang malah menjadi
kontra-produktif.
Terlebih pada level pemerintah, mereka harus bersikap
tegas dalam menghadapi kasus ini, sehingga bisa mewakili dan menjadi corong
umat Islam di Indonesia. “Seperti meminta Barack Obama mengadili pembuat film
tersebut. Setidaknya itu bisa mengurangi ketegangan,”katanya.
Muawwan Daelami