UIN Jakarta, INSTITUT- Meski telah 67 tahun merdeka, tak dipungkiri
Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari penjajahan. Ketergantungan Indonesia
pada impor pihak asing merupakan salah satu bukti bila Indonesia masih
terjajah. Untuk itu, semangat cinta tanah air dalam diri bangsa perlu
ditanamkan, demi mengobarkan semangat meraih kemerdekaan seutuhnya.
Semangat inilah
yang coba dimunculkan kembali dalam diri mahasiswa oleh Fakultas Psikologi
(FPsi) melalui film. Tontonan itu berjudul “Pasukan Brani Mati” yang
ditayangkan di teater FPsi, Kamis (30/8). Pemutaran film berdurasi sekitar 2
jam ini, merupakan salah satu rangkaian acara Orientasi Perkenalan Akademik (OPAK)
fakultas.
Koordinator
Divisi Acara OPAK FPsi, Laily Inayah, menjelaskan film lama berlatar zaman pra
kemerdekaan ini diharapkan dapat menstimulasi semangat kebangsaan. “Mahasiswa
juga dirasa butuh untuk mengenal dan mencontoh semangat perjuangan orang-orang
terdahulunya, yang bahkan berani mati demi meraih kemerdekaan bangsa, “
ujarnya.
Penyampaian
materi kebangsaan menggunakan media film ini perdana di FPsi. Selain itu,
pemilihan film bertema perjuangan meraih kemerdekaan ini masih relevan hingga kini,
serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Laily
menambahkan, film ini memperlihatkan bahwa penjajah bukan hanya dari luar
negeri, namun dapat berbentuk para penguasa negeri ini. “Pesan film ini dapat
diaplikasikan di kehidupan akademik mahasiswa. Untuk mendapatkan hasil akademis
yang memuaskan, diperlukan pengorbanan dan perjuangan,” tandasnya.
Pembantu
Dekan Bidang Kemahasiswaan, Zahrotun Nihayah mengatakan, mahasiswa perlu
mengetahui upaya luar biasa yang dilakukan para pejuang. Dengan begitu,
mahasiswa akan lebih menghargai apa yang telah direngkuh bangsa Indonesia
hingga kini, seperti kebebasan mengenyam pendidikan.
Oleh
sebab itu, menurut Nihayah, film ini masih dapat diambil filosofi dan pesannya,
walaupun sudah lama. “Oleh karena itu, film dipilih sebagai alat untuk
menyampaikan pesan tersebut kepada mahasiswa baru,” tegasnya.
Nihayah
menjelaskan, pesan visual akan lebih mudah ditangkap, dipahami, lalu diingat
ketimbang apa yang didengar melalui pemateri. “Kalau dalam ilmu psikologi kognitif
itu, pesan visual akan 80% lebih terserap. Lain halnya bila mahasiswa itu hanya
mendengar, pesan yang terserap hanya 12% dari apa yang disampaikan,” tegasnya.
Mahasiswa
baru Psikologi, Demar Fitria menuturkan, meskipun sedikit membosankan, film tersebut
memiliki banyak pelajaran yang dapat ia serap. Ia menyadari rasa cinta
tanah air dapat membangkitkan rasa persatuan dan gotong royong dalam meraih
kemerdekaan.
Demar
menyayangkan kualitas film yang masih buruk, utamanya pada segi suara. “Lewat
film lebih enak sih, tapi karena suaranya agak kurang pas, saya sedikit kurang
mengerti alur ceritanya,” katanya.
Pendapat
lain diungkapkan Muhammad Syafril. Baginya, pengemasan film yang sangat khas
tahun 1945 itu justru membantunya meresapi makna perjuangan. Ia dapat merenungi
makna pengorbanan, mempertahankan pendirian, bahkan pengkhianatan. “Film ini
membuat kita yang menonton seperti berada di sana dan feel¬-nya dapet,”
tandasnya. (Adea Fitriana, Khoirur Rozi)