UIN Jakarta, INSTITUT, Di
masyarakat gender selalu dikaitkan dengan perempuan, padahal gender bukan hanya
identik dengan perempuan, tapi juga laki-laki. Seks dan gender adalah dua hal
yang berbeda. Seks adalah hal yang bersifat kodrati, jenis kelamin perempuan
atau laki-laki, sedangkan gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan.
“Gender itu tidak bersifat kodrati,
tapi hasil kontruksi sosial. Ketika terjadi ketimpangan pada laki-laki, itu
juga disebut gender,” jelas Dr. Sururin, MA, Dosen Psikologi Agama dan
Kesehatan Mental Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan (FITK) yang memberikan
materi “Gender dan Seksualitas” dalam Seminar Perkembangan Gender yang bertema
“Pengarus Utamaan Gender” di Teater Lantai 3 FITK, Selasa (25/09).
Sururin juga menjelaskan,
seksualitas bukan hanya tentang reproduksi, tapi berkaitan dengan dimensi
biologis, sosial, spiritual, perilaku, dan kultural. Nilai dan norma pada
masyarakat akan mempengaruhi seksualitas seseorang. Ada dua teori seksualitas,
yang pertama teori esensialisme. Menurut teori ini, seks yaitu laki-laki dan
perempuan; gender, yaitu maskulin dan feminim; orientasinya bersifat
heteroseksual.
Teori kedua, social construction,
dalam teori ini terjadi penyimpangan seksual, dengan munculnya kaum Lesbian,
Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). “Kita perlu pendidikan seks untuk
memunculkan identitas gender,” ujar Sururin. Jika identitas gender
seseorang tidak jelas, maka seksualitasnya tidak akan jelas dan akan
muncul banyak masalah.
Menurut Sururin, pendidikan
seksualitas dalam perspektif Islam adalah bagian dari pendidikan akhlak atau
kepribadian. Seorang anak harus dididik dan diperlakukan sesuai dengan jenis
kelaminnya (sex identity) agar tidak terjadi penyimpangan identitas seksual.
Keluarga mempunyai peran yang besar untuk memberikan pendidikan seksual pada
anak, seperti perempuan harus menutup auratnya, haram melakukan onani dan
masturbasi jika tujuannya mencari kesenangan dan kepuasan semata.
Pembicara lainnya, yaitu Prof. Dr.
Saitunah Subhan, Dewan Pakar Muslimah yang memberikan materi seputar “Gender
dalam Tinjauan Tafsir.” Ia mengatakan, Streotipe perempuan itu lemah, cengeng,
dan hanya dijadikan objek kekerasan laki-laki itu diberikan masyarakat, bukan
agama. Tapi, dalam keseharian gender selalu dikaitkan dengan agama, sehingga
keadilan gender menjadi isu yang terus dikumandangkan.
Misalnya, saat Saitunah menghadiri
Konferensi Umat Islam Indonesia yang membahas tentang perempuan menjadi
pemimpin negara (Baca: Megawati). Hampir semua peserta konferensi mengatakan
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin (top leader) dan hukumnya haram. Hukum
haram berdasarkan tafsir para ulama dalam Surat an-Nisa ayat 34. “Padahal ada
Ratu Balqis yang menjadi pemimpin kerajaan saat zaman Nabi Sulaiman,”
ungkapnya.
Menurut Saitunah, saat itu studi
gender masih jarang, tidak seperti sekarang. Sepintar apapun perempuan, ia
harus kembali ke dapur dan menjadi istri yang solehah untuk suami. “Padahal,
misi Al-Qur’an adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk
diskriminasi dan keadilan, Al-Qur’an hudan wa shalih likuli zaman wa makan
(Al-Qur’an adalah petunjuk, benar di setiap zaman dan dimanapun ia berada,”
jelas Saitunah Subhan.
Tafsir yang mengandung bias misoginis
(membenci perempuan) karena pengaruh beberapa hal, seperti umumnya mufasir
adalah kaum laki-laki, metode penafsiran yang lebih banyak pada pendekatan
tekstual bukan kontekstual dan pengaruh kisah Israiliyat yang berkembang luas
di kawasan Asia Tengah sarat dengan bias gender, yakni penciptaan perempuan
merupakan subordinasi dari tulang rusuk laki-laki..
“Penafsiran ayat Al-Qur’an harus dilihat dari asbabu nuzul turunnya ayat itu. Menangkap pesan Al-Qur’an tidak hanya teks secara literal, tapi juga moral ideal,” jelas Saitunah. Teks tidak bisa menyampaikan makna secara penuh tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial.(Anastasia)
“Penafsiran ayat Al-Qur’an harus dilihat dari asbabu nuzul turunnya ayat itu. Menangkap pesan Al-Qur’an tidak hanya teks secara literal, tapi juga moral ideal,” jelas Saitunah. Teks tidak bisa menyampaikan makna secara penuh tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial.(Anastasia)