Mahasiswa yang
dikenal sebagai agent of change dalam sejarah Indonesia memiliki peran dalam
mengawal perjalanan Indonesia. 21 Mei 1998 merupakan momentum di mana gerakan
mahasiswa bersatu untuk melawan otoritarianisme pemerintah pada masa Orde Baru
yang non-demokratis, korupsi, serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Mahasiswa menjadi
bagian penting dalam membuat perubahan di negeri ini. Pada tahun 1920-an,
mahasiswa dikenal sebagai angkatan pendobrak kesadaran nasionalisme, 1960-an
dan 1970-an diidentifikasi sebagai penggerak kekuatan moral (moral force),
1980-an sebagai pelopor aksi pergerakan pendampingan massa rakyat bawah
(grassroots) dan sebagai kelompok penekan (pressure group) terhadap pemerintah.
Inilah yang membuat
mahasiswa dipandang sebagai revolusioner bangsa, Agent of Change dan nama
“indah” lain yang banyak disandang mahasiswa. Akan tetapi sosok seperti ini
hanya terdapat pada sebagian kelompok mahasiswa, sementara sebagian yang lain
mementingkan diri pribadinya sendiri: berfoya-foya, nongkrong, dugem, IP tinggi
dan lain sebagainya.
Tak dapat terelakkan,
bahwa mahasiswa adalah pemuda yang tinggi idealismenya. Namun, idealisme
tersebut tidak bisa selalu mengisi hari-hari mereka, pada sisi lain mereka
tidak dapat mengelak kebutuhan untuk bersenang-senang.
Budaya
hedonisme dan merosotnya moral
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan
kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Hedonisme telah memengaruhi
naluri kehidupan bangsa Indonesia dan menjadi budaya buruk yang sangat rentan
mengarahkan kaum elite melakukan tindak korupsi.
Budaya hedonisme
mahasiswa dapat dilihat dengan gaya hidup yang konsumtif, free sex, penggunaan
narkoba, serta aksi anarkis yang marak dilakukannya. Sebagian dari mereka
terbiasa melakukan hal-hal tersebut tanpa memikirkan akibat yang akan berujung
dengan tingkah mereka.
Bagi para penganut
paham ini, pesta pora dan berpelesir merupakan tujuan utama dalam hidup, entah
itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan bahwa
hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup dengan
senikmat-nikmatnya.
Mereka hanya
mengedepankan hawa nafsu belaka dalam menjalankan hidupnya, sehingga
memunculkan kesenangan-kesenangan untuk pribadi yang akan merugikannya. Tempat
hiburan malam seakan tak pernah sepi, ini mengandaikan banyaknya mahasiswa yang
menganut hedonisme. Dari penganut paham ini muncullah nudisme (tradisi
bertelanjang bulat). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang
menyatakan, ‘’Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok
engkau akan mati.’’
Dengan munculnya
paham-paham yang menghancurkan moral bangsa dalam kehidupan, mahasiswa sebagai
penyandang agent of change lebih baik mengingat kembali implementasi dari
tridharma perguruan tinggi.
Dewasa ini mahasiswa
lebih menyukai kegiatan yang tidak bermanfaat untuk kepentingan khalayak,
mereka lebih mengedepankan kepuasan rohani dan jasmaninya pribadi dengan
menghabiskan waktu dan uang.
Hedonisme
memengaruhi idealisme mahasiswa
Hedonisme adalah
kabar buruk bagi kalangan intelektual Indonesia, pengaruh hedonisme menjadikan
mahasiswa tak mampu menjalankan statusnya dengan baik sebagai agent of change.
Peran mahasiswa dalam melakukan perubahan politik di Indonesia dapat diakui
merupakan hal yang luar biasa, tetapi budaya hedonisme telah menghancurkan
peran yang telah dibuat sebelumnya sehingga merusak nilai-nilai kebangsaan.
Saat Orde Baru
runtuh, tidak sedikit mahasiswa yang menjadi bagian dari pemerintahan. Namun
sangat disayangkan, pada masa ini ternyata kaum intelektual yang masuk dalam
struktur pemerintahan menjadi korup saat meraih kekuasaan tersebut.
Ironisnya, kaum
intelektual yang menyuarakan hak-haknya melawan korupsi pada masanya malah melakukan
korupsi itu sendiri ketika mereka duduk di bangku penguasa. Menutup kuping dan
hati nurani rapat-rapat demi mencapai kebahagian duniawi.
Bermewah-mewahan
dengan barang yang berharga selangit, bahkan membeli rumah dan mobil dengan
nilai yang gila-gilaan. Dapat diulas kembali, budaya pejabat negara tak bisa
terlepas dari budaya kampus, karena pejabat negeri ini lahir di berbagai kampus
di Indonesia.
Disadari atau tidak,
pengaruh budaya hedonis telah merasuki jiwa kampus. Dapat dilihat dari setiap
parkiran kampus, berbagai merek mobil ternama terparkir disana, gadget yang
dimiliki mahasiswa bukan hanya sekedar merek yang biasa. Beragam model gaya
hidup masa kini terlihat jelas di setiap sudutnya.
Hal ini menyebabkan
tergerusnya sifat kritis pada mahasiswa, tak banyak terdengar suara-suara
mereka ketika melihat menjamurnya korupsi di negeri ini, bahkan kalau
yang terjebak korupsi tersebut adalah jaringan gerakan mahasiswa ekstra kampus,
kaum aktivis justru mem-backup-nya. Gejala hedonisme telah merasuki hampir
seluruh mahasiswa di negeri ini.
Dalam mengeluarkan
sikap kritis mahasiswa, saat ini mereka hanya mampu mengkritisi
kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Sementara, di luar kebijakan tersebut
hal-hal yang menjadi masalah bangsa jarang terjamah oleh pemikiran mereka.
Kemiskinan, pengangguran, bencana alam, buruknya pendidikan dan lain sebagainya
kurang mempunyai tempat dalam kebijakan pemikiran mereka untuk dikritisi.
Gerakan mahasiswa
lebih terlihat dengan aksi turun ke jalan untuk mengeluarkan aspirasi mereka.
Aksi-aksi yang demikian acapkali tidak absen dari kepentingan tertentu dan
sebagai upaya untuk menonjolkan diri sendiri demi mencapai popularitas. Dengan
popularitas yang diraih melalui aksi turun jalan, mereka sebenarnya berharap
untuk mendapatkan kesuksesan dan dipandang semua orang bahwa dirinya adalah
orang yang membela kepentingan rakyat. Akhirnya, mereka bisa melakukan
tawar-menawar politik untuk sebuah jabatan tertentu.
Tidak jarang,
sebagian masyarakat merasa risih dengan aksi turun jalan yang mahasiswa
lakukan. Dengan demikian, aksi turun jalan bukanlah satu-satunya cara untuk
menyuarakan aspirasinya dan membela kepentingan rakyat.
Kembali lagi kepada
statusnya agent of change, mahasiswa harusnya melihat lebih jauh
kepentingan-kepentingan rakyat luas dengan mengenyampingkan kesenangan mereka
semata untuk mencari hiburan yang tak pernah akan ada batasnya.
Gita
Nawangsari, Mahasiswi Semester 2 , Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Jurusan
Jurnalistik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta