Kisruh yang
mendera Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sampai saat ini belum
juga usai, berbagai cara mengatasinya pun kerap dilakukan. Mulai dari diskusi antar pengurus sampai
peyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB), tapi keadaan PSSI tak kunjung membaik
dan berubah. Hal ini membuat persepakbolaan Indonesia terpuruk.
Dampaknya,
timnas Indonesia gagal pada ajang AFF 2010 lalu. Tahun berikutnya timnas U-23
pun hanya menjadi runner up pada Sea Games. Yang paling memalukan, ketika
Indonesia kalah dengan skor telak 0-10 oleh Bahrain pada kualifikasi terakhir
piala dunia 2014 Brazil. Dan itu merupakan kekalahan terburuk dalam sejarah
persepakbolaan Indonesia.
Inilah titik
terendah yang dialami sepak bola Indonesia, keterpurukan ini tidak lepas dari
kekisruhan dalam tubuh PSSI yang tidak kunjung usai. Kisruh yang membuat sepak
bola Indonesia terus merusak diri sendiri, sepak bola menjadi arena pertarungan
gengsi, kekuasaan, dan pengaruh dua kubu.
Masyarakat
indonesia sudah jenuh dengan problematika yang terjadi di persepakbolaan negeri
ini. Sepak bola semestinya bisa menjadi obat penawar stres masyarakat Indonesia
di tengah kemerosotan kehidupan berbagai lini di tanah air. Namun sayang,
olahraga yang paling populer di negeri ini tak juga memberikan prestasi.
Bangsa
Indonesia pasti selalu berharap dan haus akan prestasi timnas di ajang
internasional. Antusiasme mereka terhadap sepakbola sangat tinggi. Pendukung
timnas selalu hadir di mana pun tim merah putih berlaga. Sayangnya, masalah
yang terus membelit PSSI semakin membuat timnas Garuda berantakan.
Ironis
memang, di tengah tingginya dukungan bangsa, persepakbolaan Indonesia kian hari
malah semakin memburuk. Harapan bangsa akan prestasi seperti musnah karena
kekisruhan yang terjadi di tubuh PSSI.
Bila kisruh
ini tak segera dihentikan dan dicarikan solusinya, maka timnas dan seluruh
bangsa Indonesia yang dirugikan. KLB, rekonsiliasi, dan arbitrase adalah tawaran
yang kerap dilakukan untuk mengakhiri kisruh persepakbolaan kita. Namun, kisruh
yang terjadi sejak awal 2011 sampai saat ini belum juga menemui titik
penyelesaian.
Sepeninggal
Nurdin Halid yang kemudian digantikan Djohar Arifin Husin, kisruh dalam tubuh
PSSI masih belum teratasi, malah semakin bertambah parah. Dualisme liga
nasional kembali terjadi. Pada masa Nurdin, PSSI hanya mengakui satu liga yaitu
Liga Super Indonesia (LSI) dan menetapkan Liga Premier Indonesia (LPI) dianggap
liga ilegal. Sedangkan pada masa Djohar Arifin, malah sebaliknya.
Munculnya
Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) juga semakin menambah kisruh.
Pasalnya, KPSI terkesan hanya memproritaskan kepentingannya sendiri. Itu
terbukti pada KLB awal tahun ini yang menjadikan La Nayalla Mattalitti menjadi
ketua umum PSSI, padahal sudah jelas Djohar Arifin Husin adalah ketua PSSI. Hal
itu membuat PSSI menjadi dua, dan orang-orang menyebutnya PSSI versi KPSI.
Seharusnya, KPSI mencari solusi untuk mengatasi masalah bukan memperparah
kisruh yang sudah ada.
Pemain
Menjadi Korban
Adanya kisruh
pada tubuh PSSI dan dualisme kompetisi membuat klub-klub dan para pemainnya
bingung karena mereka harus memilih salah satu kompetisi. Seperti kasus pemain
naturalisasi Diego Micell yang hijrah ke Persija Jakarta (LPI) dari Pelita Jaya
(LSI). Padahal ia masih terikat kontrak dengan Pelita Jaya. Seperti kita tahu
bahwa sekarang LPI merupakan liga yang diakui PSSI sedangkan LSI ilegal.
Mungkin hal
tersebut termasuk salah satu alasan Diego pindah, karena setatus ilegal juga
berlaku bagi para pemain di LSI. Selaku pemain profesional, mereka hanya tahu
sepakbola dan tak memahami intrik-intrik politik di tubuh PSSI. Akibatnya,
banyak pesepakbola berbakat tidak bisa membela timnas kala bartanding. Hal ini
jelas merugikan timnas dan tentu saja rakyat Indonesia.
Padahal jika
dibandingkan, pemain-pemain LSI lebih berpengalaman dari pemain LPI karena
banyak pemain timnas berasal dari klub-klub LSI. Dampaknya, timnas Indonesia
saat ini sulit untuk bersaing dengan tim-tim negara lain, jangankan dengan
negara Eropa atau Amerika Latin di Asia Tenggara sendiri timnas Indonesia masih
tertatih-tatih. Hal itu membuat peringkat sepak bola Indonesia menurun.
Dan yang
terbaru adalah ketika Mentri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Malarangeng
memberhentikan subsidi untuk timnas. Seperti dikutip TEMPO.CO (5 Maret 2012)
"Kami stop bantuan untuk timnas sepak bola sejak kisruh yang berujung
pelarangan pemain tertentu memperkuat timnas dilakukan," kata Menteri
Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng di gedung Kementerian Pemuda dan
Olahraga.
Andi
menegaskan penghentian subsidi itu akan terus dilakukan sampai diskriminasi
berakhir. Timnas, menurut dia, seharusnya tidak diskriminatif dalam memilih
pemain yang bisa memperkuat timnas sehingga timnas bisa diperkuat semua pemain
terbaik di seluruh Tanah Air.
Tak hanya
itu, kisruh PSSI berimbas pada kesulitan keuangan yang dialami sejumlah klub,
baik LSI maupun LPI. hal tersebut membuat hak-hak pesepakbola belum dipenuhi
oleh klub. Para pesepakbola itu pun mulai berontak dan menyatakan protes,
mereka menghimpun kekuatan dan menyatukan pendapat dalam Asosiasi Pesepakbola
Profesional Indonesia (APPI). Mereka menuntut agar hak-hak mereka diberikan,
khususnya gaji yang belum dibayar.
Kemelut yang
terus membelit PSSI seakan mencerminkan pemerintahan yang kacau, hanya
mementingkan kepentingan sendiri. Hal ini menunjukkan keroposnya mental bangsa
dan tak adanya rasa tanggung jawab. Sepak bola dijadikan ajang politik dan
bisnis, mungkin jika terus seperti ini sepak bola nasional akan hancur.
Kekisruhan
yang terjadi ini harus segera dibenahi, karena bagaimana pun sepak bola
merupakan olahraga yang sangat digemari ditanah air bahkan dunia. Sepak bola
juga terbukti dapat membangkitkan semangat nasionalisme, karena timnas Sepak
bola suatu negara memikul kehormatan negaranya, khususnya jika bisa mencapai
kompetisi tertinggi di dunia.
Ahmad Sayid
Muarief, Mahasiswa Semester 4, Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Jurusan
Jurnalistik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta