Pada 8 Desember 2011 lalu, telah diadakan workshop bertema
Kemitraan Lintas Agama Bagi Pembangunan Sosial dan Upaya Bantuan Kemanusiaan
oleh Kelompok Lokal dan Agen Internasional di Indonesia. Workshop tersebut
berlangsung di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atas
kerjasama dengan University of News South Wales (UNSW).
Workshop tersebut dihadiri oleh perwakilan dari berbagai
lembaga-lembaga sosial keagamaan. Di dalamnya lebih banyak membahas upaya yang
telah dilakukan lembaga-lembaga kemanusiaan yang dikelola oleh
kelompok-kelompok sosial keagamaan dalam menanggulangi korban-korban bencana
Seperti yang kita tahu, letak geografis Indonesia memiliki banyak
potensi bencana, khususnya bencana alam terbilang besar. Indonesia berada di
kawasan yang rawan terkena gempa karena berada di antara pertemuan sejumlah
lempeng tektonik besar dan aktif bergerak. Daerah rawan gempa mulai dari batas
lempeng tektonik Australia dengan Asia, lempeng Asia dengan Pasifik dari timur
hingga barat Sumatera sampai selatan Jawa, Nusa Tenggara, serta Banda.
26 Desember 2004 silam, gempa bumi dan tsunami yang terjadi di
Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian besar Sumatera Utara, telah menewaskan
131.028 dan 37.000 orang hilang. Namun, itu bukanlah kejadian yang terakhir,
disusul dengan gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kelaten, Ciamis dan
Cilacap, Mentawai, Tasikmalaya, Padang, dan Sumatera.
Periodisasi terjadinya gempa mendominasi daerah-daerah yang
berpenduduk padat, mulai dari Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Sehingga banyaknya
jumlah korban sudah tidak bisa dihindari lagi. Selain gempa, kondisi Indonesia
yang memiliki gunung-gunung berapi, dan dikelilingi oleh lautan, sehingga
berbagai bencana alam mudah sekali terjadi.
Keadaan seperti ini membuat para korban membutuhkan relawan
dengan jumlah yang banyak agar dapat memulihkan keadaan, setidaknya menenangkan
korban untuk sementara. Sebagian besarnya mengalami gangguan psikologis, mereka
yang kehilangan tempat tinggal, harta benda, sanak saudara, terlebih bila
anggota keluarga yang menjadi korban tewas atau hilang.
Mengingat, bencana tidak pernah mengenal siapa yang akan ia
temui sebagai lawan, maka langkah terbaik adalah dengan menolong siapa saja
yang dapat ditolong sesegera mungkin tampa melihat dari mana asal usul korban,
dari suku, maupun agamanya. Misalnya saja saat terjadi bencana di Merapi,
korban bencana yang diungsikan ke Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY),
setelah dicek ternyata hampir 50% adalah Nasrani, maka relawan yang terlibat
mengundang teman-teman yang dapat menangani permasalahan ibadah korban
tersebut.
Diskusi tersebut menjadi lebih menarik, saat berbagai lembaga
sosial keagamaan menceritakan pengalamannya di lokasi bencana. Misalnya saja
saat Muhammadiyah melalui Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) menemui beberapa
kendala, ketika suatu kali hendak mengadakan sholat fardhu yang dilaksanakan di
lingkungan gereja. Keterbatasan tempat sebagai lokasi pengungsian yang akhirnya
mengharuskan warga muslim untuk singgah ke lingkungan gereja untuk melakukan
sholat berjama’ah, serta aktivitas keagamaan lainnya.
Tentunya dalam menghadapi situasi seperti ini, dihadapkan pada
pilihan yang tidak mudah untuk mendirikan ibadah, di rumah ibadah yang berbeda
keyakinan. Jika dilihat dari konteksnya, ini merupakan tantangan bagi umat
dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang dapat terjadi kapan saja.
Namun, berawal dari hal-hal seperti ini, akan menimbulkan rasa
saling menghormati antar umat beragama dalam menjalankan kewajibannya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Di mana agama bukan menjadi masalah baru dalam kondisi
darurat, melainkan fungsi dari agama tersebut dapat dirasakan yaitu dalam hal
memberikan kedamaian dan dapat menyelesaikan masalah umat tanpa memandang suku,
ras, agama, maupun keyakinan.
Begitu juga dengan menerima bantuan dari agama lain, seringnya
timbul isu-isu kristenisasi bagi penerima bantuan atau penerima bantuan
mendapatkan doktrin untuk akhirnya berpindah agama. Hal-hal ini yang sering
membuat rasa enggan memberikan atau menerima bantuan dari yang berbeda
keyakinan.
Seharusnya, dalam mengkaji Islam tidak hanya seputar
permasalahan yang normatif dan terpaku pada orientasi fiqh. Tetapi, dapat
terkait kepada masalah-masalah umum yang sering timbul di tengah kalangan
masyarakat luas, dan butuh akan pemahaman agama, terlebih pada hal kerukunan
antar umat beragama, misalnya dalam bentuk dialog.
Di kalangan intelektual dialog-dialog seputar agama sering diadakan,
bukan hanya itu mereka juga biasanya membuat organisasi antar agama. Pada
kalangan ini, mereka sudah lebih paham dan mengerti akan hubungan antar agama,
namun pada kalangan awam mereka lebih sering mendapatkan ceramah-ceramah yang
memojokkan dan membicarakan keburukan agama lain.
Pentingnya memberi pemahaman sampai ke masyarakat tingkat bawah,
agar tercapai kerukunan antar umat beragama. Hubungan yang dapat dibangun tidak
hanya hubungan insan dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan antar manusia dengan
manusia lain yang tidak dibatasi dengan siapa ia dapat melakukan hubungan baik.
Mengingat Indonesia memiliki Bhineka Tunggal Ika sebagai pedoman untuk
mempersatukan perbedaan.
Dewi Maryam, Mahasiswi Semester 2, Fakultas
Sains dan Tekhnologi, Jurusan Matematika, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta