Setiap hari media menyuguhkan berbagai macam
informasi dari dalam dan luar negeri, tapi tidak jarang pula media membatasi
dan menutupi suatu berita yang berkaitan dengan kepentingan publik. Bahkan media kerap mengalihkan isu dengan berita
ringan dan sederhana. Hal ini membuat media tidak lagi berfungsi sebagai alat
kontrol sosial.
Di televisi misalnya, kasus suap pajak Gayus
Tambunan yang sempat menggemparkan publik hilang secara tiba-tiba dan pada saat
bersamaan, Norman Kamaru polisi asal Gorontalo yang heboh di Youtube dengan
joget “caya caya” menjadi trending topic berhari-hari kemudian. Tidak hanya
itu, ketika isu kenaikan harga BBM sedang marak diberitakan, seketika hadir
berita tentang kehebohan masyarakat akan wabah Tomcat.
Hal itu membuat pola pandang khalayak terhadap
suatu peristiwa menjadi terbatas. Bacaan publik terhadap sebuah masalah selalu
diarahkan oleh media, hingga membuat mereka kehilangan otensitas dalam
menyikapi persoalan. Semua ini terjadi karena informasi yang tersedia sudah
didramatisasikan dan diarahkan oleh media sedemikian rupa.
Menanggapi hal demikian, Gun Gun Heriyanto,
dosen komunikasi politik UIN Jakarta menuturkan, kekuatan bisnis dan politik
sangat berperan terhadap adanya pengalihan isu. “Pada prinsipnya, manajemen
konflik yang diperankan dua kekuatan tersebut, mengarahkan pemberitaan di media
massa,” tegasnya. Hal tersebut membuat khalayak tidak bisa melakukan apa-apa, karena
media massa saat ini adalah media yang kapitalis.
Namun, jika media dilarang memberitakan suatu
masalah hanya karena pandangan tadi, maka Indonesia sebagai negara demokrasi
sudah melanggar kebebasan berekspresi. Meski begitu, media sebagai forum sosial
dituntut untuk memberikan proses edukasi melelui informasi yang berbobot. “Tapi
pada kenyataannya, media cenderung lebih mementingkan daya jual daripada
kepentingan publik,” ujarnya.
Seharusnya, media massa sebagai salah satu
pengawal demokrasi mampu menjadi wadah bagi aspirasi masyarakat. Jika kasus
korupsi tidak diberitakan sedangkan Norman Kamaru menjadi berita utama, ini
menjadi pertanda media merevisi opini publik agar kemudian berpaling pada isu
yang sederhana bahkan tidak berkaitan dengan kepentingan publik. “Yang seperti
ini kan demokrasi yang tidak sehat,” tegasnya.
Bagi Gun Gun, institusi media haruslah kuat
dalam mengawal demokrasi. Karena, bila media massa menjadi alat bagi
kepentingan politik dan bisnis, maka media akan kehilangan alat kelamin dan
fungsinya sebagai pengawal demokrasi. Jika sudah begitu, maka semboyan pers
sebagai alat kontrol sosial pun bias.
Saat ini, media massa sudah kehilangan
idealismenya dan beralih menjadi
intitusi bisnis. Fenomena ini sangat wajar terjadi karena kebutuhan media akan
pasar kini sangat besar. Walaupun demikian, media seharusnya berlaku adil dalam
melakukan pemberitaan.
Meskipun begitu, membenahi media agar tak
berlaku seperti ini cukup sulit dilakukan. Karena jurnalis sebagai pihak yang
harus terlibat dalam pembenahan ini terkendala pemilik modal. Jika mereka
melakukan hal itu, sama saja dengan melawan pemilik modal yang menafkahi
mereka.
Terkait hal ini, Najib Ayub Yasser, anggota
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) menjelaskan,saat ini media terbawa
oleh isu yang berkaitan dengan pemilik modal dalam dinamika ruang redaksinya.
“Media yang benar adalah media yang membuat berita, bukan mencari berita,”
paparnya. Ia menambahkan, jika sudah
seperti itu maka mau tidak mau wartawan harus menguikuti arus medianya.
Padahal jika kita mengacu pada Sembilan Elemen
Jurnalis ala Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, jurnalis harus memberi
loyalitasnya kepada rakyat. Namun, dalam kenyataannya, para jurnalis tidak bisa
melakukan hal ini karena kebijakan dari para pemilik modal. Ironis memang jika
pemberitaan yang dilakukan media bias hanya karena kepentingan semata, dan hal
ini menunjukan kehidupan jurnalis di Indonesia belum merdeka.
Sayid Muarief