Judul : Indonesia Satu Indonesia Beda Indonesia Bisa
Penulis : Jimmy Oentoro
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 413 halaman
Tahun terbit : Cetakan I tahun 2010
ISBN : 978-979-22-5814
Harga : Rp. 80.750,00
Indonesia tidak
hanya sekali terbentur
masalah lintas agama. Soekarno sebagai
presiden pertama Indonesia
sudah dari dulu
mewanti-wanti akan adanya
benturan ihwal keagamaan
jika masyarakat Indonesia
tidak mengetahui dan
mengedepankan pluralisme serta
kebebasan beragama.
Indonesia, salah satu
negara paling plural, saat
ini sedang menghadapi
berbagai gempuran. Banyak
kelompok-kelompok di Indonesia
yang mencampur-aduk paham
pluralisme dan kemajemukan
dalam konteks agama
hingga tercipta salah
pengertian. Menghadapi
kondisi tersebut, pemerintah dan
masyarakat tidak boleh
berpangku tangan. Pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama mengaktualisasi nilai
pancasila dan menghidupkan
kembali nasionalisme.
Buku
Indonesia Satu Indonesia
Beda Indonesia Bisa yang diterbitkan
sebagai bunga rampai
50 tahun Jimmy
Oentoro mengupas mengenai
ancaman-ancaman pluralisme di
Indonesia. Buku ini juga
membahas pentingnya bangsa
Indonesia menjaga serta
merawat Bhineka Tunggal
Ika yang menjadi
semboyan utama negeri
pertiwi ini.
Karya Jimmy
Oentoro ini juga
mengulas masalah-masalah pendidikan
di Indonesia. Indonesia kaya
akan Sumber Daya
Alam (SDA) dan Sumber Daya
Manusia (SDM), namun kedua sumber
kekayaan Indonesia itu
belum bisa diolah
secara maksimal. Cara mengolahnya
dimulai dari memulai
kontekstualisasi dalam strategi
dan manajemen pendidikan.
Selain Jimmy Oentoro, 28 penulis
dengan latar belakang
berbeda-beda, mulai dari pendeta, pegiat pluralisme, aktivis lintas
agama, ahli ekonomi, kyai,
politisi, pengusaha, budayawan, rektor
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan lain sebagainya. Mereka antara
lain Franz Magnis-Suseno, Jonathan Parapak, Hasyim Muzadi, Ciputra, Din Syamsuddin, Emha Ainun
Nadjib, Rizal Ramli, Putu Wijaya, Rom
Sembel, Arnold Tibas, Yenni Zannuba
Wahid, Komaruddin Hidayat dan
lainnya.
Jika kerajaan Majapahit pernah menguasai beberapa wilayah di bagian Samudera Hindia, seharusnya ukiran sejarah yang membanggakan itu menjadi penyemangat negara Indonesia untuk terus maju dan menjadi negara adidaya di dunia.
Menurut Jimmy Oentoro, perjuangan bangsa Indonesia adalah melawan keserakahan yang menyebabkan penderitaan diantara sesama, segenap komponen bangsa perlu melakukan rekonsiliasi antargolongan (kaum elite dan tersingkirkan), antarsuku, ras, dan agama. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah memperkokoh pondasi bangsa ini, yaitu pancasila. Jika Pancasila dipraktikkan dengan benar, maka Indonesia akan menjadi negara yang digdaya, bahkan menjadi negara adidaya.
Menurut Romo Franz Magnis-Suseno, istilah pluralisme terkadang dibajak untuk memahami bahwa semua agama sama. Padahal, seharusnya seorang pluralis justru menerima kepercayaan yang berbeda-beda, namun masing-masing yakin terhadap kebenarannya. Bagi pluralis, perbedaan tidak memisahkan mereka. Walau iman berbeda, mereka dapat bersatu dalam nilai-nilai yang dimiliki bersama.
Dalam buku ini, Emha Ainun Nadjib memanggil Indonesia dengan sebutan “Kapten Dunia”. Hanya saja manusia di “Kapten Dunia” masuk dalam kategori “orang hebat yang tidak tahu kehebatannya”. Makin lama, orang Indonesia makin tidak mengenal jati dirinya sendiri. Kapten Dunia justru lebih mengagungkan negara-negara lain yang diibaratkan sebagai “Rambo”. Padahal, Rambo adalah khayalan yang diciptakan dan hanya dipandang kehebatannya saja. Di buku ini Emha menegaskan dalam tulisannya, khayalan orang kalah saja sudah cukup untuk membuat orang Indonesia takut kepada pecundang.
Dalam buku
ini juga, Komaruddin Hidayat menjelaskan bangsa Indonesia
sedang terjangkit psikologi
pesimisme. Hal itu terjadi
lantaran bangsa Indonesia
merasa rendah diri, serta
memiliki naluri bawah
sadar yang cenderung
memberontak. Hal itu
menimbulkan ketidakmampuan mengapresiasi
secara cerdas melimpahnya
potensi alam, flora, fauna, laut,
dan kebudayaan yang
menjadi kekaguman, juga kecemburuan
bagi bangsa lain.
Menurut Sarjana Institut Alkitab Tiranus Bandung, Arnold Tibas, bangsa Indonesia memiliki potensi dan peluang yang besar dalam membangun dirinya menjadi salah satu bangsa kekuatan dunia. Bangsa yang dapat bersaing, bahkan mampu melampaui kekuatan maju negara-negara seperti Amerika dan Jepang. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Sayangnya, Indonesia lemah dalam perihal pengelolaannya. Untuk pengelolaan yang lebih baik, langkah awalnya adalah mencari model pendidikan yang relevan, suatu model pendidikan dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual dapat dikembangkan dalam bentuk perundang-undangan, pengambilan kebijaksanaan, strategi, manajemen, kelembagaan, program studi, kurikulum, dan proses pembelajaran.
Para
pengamat pendidikan ikut menuturkan dalam
buku ini. Mereka menuliskan, pendidikan di
Indonesia masih dalam
konteks Belanda. Seharusnya,
strategi pendidikan di
Indonesia selayaknya ditentukan
oleh konsep ideologi
suatu bangsa, bukan oleh
konsep politik suatu
pemerintahan. Tidak ada lagi
pembeda-bedaan golongan, agama,
ras, dan suku, melainkan memperoleh
pendidikan yang berwatak
aktif, kreatif dan kritis
dengan etos kerja, yang
mengutamakan nalar dan
kebebasan mengeluarkan pendapat.
Pimpinan pondok pesantren di Pulo Gadung, Nuril Arifin secara lugas menuturkan tentang Islam Trans Nasional, atau radikalisme Islam. Tak hanya radikalisme Islam, ia juga mengangkat fenomena Kristen atau Katolik Trans Nasional. Saat ini, Kristen Radikal dan Katolik radikal sedang berhadapan dengan Islam Radikal. Kedua pihak sama-sama mengklaim diri mereka sebagai penentang teroris. Kedua pihak juga merasa diri mereka adalah kelompok yang paling benar.
Yenni Zannuba Wahid, anak dari mantan presiden Gus Dur, berkata dalam buku ini, pluralisme adalah bagian dari hukum alam yang tidak bisa ditolak. Kesadaran tentang pluralisme tersebut memberikan inspirasi kepada komunitas muslim terbesar di Indonesia, Nahdliyin, untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Pluralisme yang
menjadi salah satu
penyebab gempuran-gempuran di
Indonesia telah dikupas
oleh Jimmy Oentoro
dan 28 penulis
lainnya dalam buku Indonesia Satu Indonesia Beda
Indonesia Bisa. Para penulis
memaparkan kajian-kajian teologi
dan sejarah agama-agama
besar yang memposisikan
pluralisme sebagai bagian
yang tidak terpisahkan
dari keimanan.
Secara umum, buku
ini berbobot karena
ditulis oleh mereka
yang berkompeten di
bidangnya masing-masing. Hal tersebut
membuat pembaca tidak
hanya memandang dari
satu sudut pandang, seperti sudut
pandang agama saja. Pembaca
juga bisa mengambil
nilai dari sisi
kebudayaan, politik, ekonomi, dan
lainnya.
Buku
ini juga menggambarkan
bahwa pluralisme di
Indonesia bukanlah suatu
kelemahan, melainkan
menjadikan kunci agar
pintu kejayaan Indonesia
semakin terbuka. Juga sebagai
modal bagi Indonesia
agar menjadi bangsa
yang bermartabat.