![]() |
rina kusuma education outreach officer yayasan kehati tengah menjelaskan pentingnya keanekaragaman hayati untuk lingkungan hijau selasa (24/7) |
Jakarta, INSTITUT- Banyaknya orang yang berpendidikan dan para
intelektual nyatanya belum mampu mengubah Jakarta menjadi kota hijau yang
berkonsep city in the garden. Justru, kian hari wilayah hijau di Jakarta kian
berkurang.
Hal itu diungkap Hendra Aquan, salah satu
anggota Komunitas Transformasi HIjau (Trashi) pada seminar “The Preservation of
Green Open Space in Urban Areas and the Role of Youth” yang berlangsung di
@amerika, Pasific Place, Jakarta Pusat, Selasa (24/7).
“Kini orang-orang jika mendengar kata Jakarta,
yang terpikirkan mereka hanyalah macet, polusi, banjir atau banyaknya mall,”
ujarnya. Ia pun mengatakan, saat ini lingkungan hijau belum menjadi fokus utama
pada pembangunan di kota-kota besar, termasuk Jakarta.
Pembicara lainnya, Rina Kusuma dari Education
and Outreach Officer Yayasan KEHATI juga menjelaskan, sebenarnya populasi
manusia yang semakin meningkat merupakan salah satu ancaman terberat bagi
keanekaragaman hayati.
“Manusia dengan segala gaya hidupnya,
menimbulkan adanya limbah, polusi, dan lainnya. Belum lagi pembukaan lahan
untuk tempat tinggal,” tuturnnya Selasa (24/7)
Menurutnya, persoalan yang paling mendasar
dari adanya keanekaragaman hayati di kota besar adalah kepedulian manusia.
“Hanya sedikit sekali orang yang mengetahui pentingnya keanekaagaman hayati
juga dampak dan pengaruhnya secara personal,” paparnya.
Nirwono Yoga selaku Landscape Architect
mengungkapkan, kesadaran masyarakat tentang lingkungan hijau memang masih
sangat kurang. “Buktinya aja, sekarang di daerah Fatmawati ada ratusan
pohon ditebang, tidak ada yang protes, berbeda saat ada kenaikan BBM.
Artinya, tingkat kepekaan masyarakat pada lingkungan hijau masih rendah,”
ujarnya Selasa (24/7)
Menurutnya, masalah lingkungan hijau menjadi
tanggung jawab bersama. Semua pihak harus berkontribusi sesuai dengan
bidangnya. Ia juga menambahkan, pemerintah seharusnya lebih serius menangani
masalah lingkungan. Misalnya, lebih ketat lagi dalam pemberian hukuman kepada masyarakat
yang menebang pohon didepan rumahnya.
Hukuman itu memang sudah ada, katanya, hanya
saja masih lemah. Hukuman yang terdapat saat ini hanya sebatas penggantian 10
pohon untuk 1 pohon yang ditebang. “Tapi yang tidak saya setuju itu, digantinya
sama pohon yang kecil-kecil. Padahal untuk pohon besar, membutuhkan waktu
20 sampai 25 tahun,” jelas Yoga.
Dampak Kurangnya Lahan Hijau
Menurut Hendra, akibat berkurangnya lahan
hijau, Jakarta juga akan banyak kehilangan warganya. Contohnya kucing bakau
atau anjing air yang telah punah. “Kami menyebutnya sebagai warga, karena
memang mereka juga berhak hidup di Jakarta. Dua species tersebut, hanya sedikit
dari hewan unik yang telah punah di Jakarta,” ucapnya.
Ia mengatakan, menurut hasil suatu survey,
pada tahun 1937 di Batavia, yang kini menjadi Jakarta terdapat 256 species
hewan. Ketika survey lain dilakukan antara tahun 2010-2011, di Jakarta hanya
terdapat 135 species hewan. “Kemana yang lainnya, that’s be a question,”
tambahnya.
Selain itu, Rina mengatakan, ketika masyarakat
membuka lahan baru di suatu tempat dengan menebang pohon, tidak hanya habitat
hewan yang lenyap. Sebenarnya, tata kehidupan masyarakat juga ikut menghilang. (Siti Ulfah Nurjanah)