Keberadaan
obat halal di Indonesia masih sangat kurang. Sebagai negara dengan mayoritas
masyarakatnya beragama Islam, mengkonsumsi suatu produk halal merupakan
keharusan yang amat penting. Lemahnya kesadaran dan pengetahuan umat muslim
untuk hanya mengkonsumsi obat-obatan halal dan karena semakin dilemahkannya
pandangan umat muslim dengan alasan penggunaan obat haram diperbolehkan dalam
keadaan darurat.
Hal itu tidak semata dibenarkan karena Nabi Muhammad SAW telah
bersabda “Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi
setiap penyakit. Maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang
haram.” (HR. Abu Daud dari Abu Darda).”
Spesifikasi halal atau haramnya
obat-obatan
Dilihat dari asal-usul pembuatan obat seperti protein, asam
amino, vitamin, mineral, enzim, asam lemak dan turunannya, khondroitin, dan
sebagainya, obat yang diproduksi belum semua halal, bahan baku obat pun banyak
yang di produksi dari babi. Bagi umat Islam, babi sudah jelas status
keharamannya, namun keterkaitan babi dalam bidang farmasi sangat penting
contohnya, cangkang kapsul yang terbuat dari gelatin atau pembentuk gel
lainnya. Banyak gelatin yang diproduksi dari kulit dan tulang babi.
Tidak hanya dari cangkang kapsul yang diperhatikan, masih banyak
obat-obatan yang perlu diwaspadai kehalalan dan haramannya. Selain itu, ada
juga makanan yang dijadikan obat seperti paha kodok, darah ular, dan beberapa
makanan yang jelas telah diharamkan dalam Alquran juga tetap haram hukumnya.
Sebagai contoh lain, obat-obatan berbentuk cair seperti obat sirup, jika bahan
pembuatnya mengandung alkohol, maka obat tersebut menjadi haram.
Tidak hanya melihat asal-usul bahan bakunya, Kepala Bidang
Standar dan Pelatihan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika,
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Hendra Utama menuturkan, tidak hanya bahan
baku seperti muasal obat dari hewan (babi), namun cara pengolahan obat tersebut
juga harus menurut syari’at Islam misalnya, dari bahan baku sapi (halal) namun,
cara penyembelihan sapi tidak menyebut nama Allah maka bahan baku yang halal
itu menjadi haram.
Kepedulian masyarakat muslim
terhadap obat-obatan halal
Hendra Utama menjelaskan, ayat kehalalan obat di dalam Alquran
tidak seperti ayat yang menjelaskan tentang halal-haramnya makanan dan minuman,
spesifikasinya masih samar (baca: mustasyabihat). Namun, halal-haramnya obat di
dalam Alquran dijelaskan berdasarkan bahan, cara atau proses pembuatannya.
Daripada itu, ia menambahkan, dengan pemahaman masyarakat bahwa
dalam keadaan darurat obat haram pun menjadi halal, sehingga mengkonsumsi obat
yang belum jelas status halal-haramnya pun menjadi biasa saja.
Senada dengan Hendra, Dosen Ilmu Kimia, Fakultas Sains dan
Teknologi, Adi Riyadhi menuturkan kepedulian masyarakat terhadap obat yang di
konsumsinya pun masih kurang karena lemahnya pengetahuan untuk kehalalan obat.
Menurutnya, masyarakat kurang mendapatkan sosialisasi akan
obat-obatan halal itu sendiri dan memang secara kasat mata hal itu sulit
dibedakan, “Jangankan masyarakat, sebagian besar dokter pun tidak tahu
bagaimana membedakannya,” ujarnya, Jumat (22/6).
Dengan itu ia menambahkan, jika masyarakat peduli ada baiknya
jika ia menuntut ke dokter untuk memberinya obat halal sehingga dokter pun akan
kembali menuntut kepada produsen, jadi kemungkinan besar produsen akan
memproduksi obat-obatan halal, “Kalau masyarakatnya saja tidak peduli untuk apa
produsen memperdulikannya,” tambahnya.
Keterbukaan produsen terhadap
kejelasan bahan baku obat
Tidak hanya kepedulian masyarakatnya saja terhadap apa yang ia
konsumsi, Hendra Utama menjelaskan pihak produsen dapat membantu konsumen
memenuhi izin edar dengan mencantumkan bahan baku obat bersumber dari mana.
Ia menambahkan, dalam obat-obatan perlu adanya uji klinis untuk
mengetahui seberapa efektifnya obat tersebut di konsumsi. Namun, biaya riset
tersebut masih tergolong mahal sehingga produsen jarang melakukan hal tersebut.
Selain itu Hendra juga menambahkan, penelitian untuk sertifikasi
halal-haramnya produk di MUI hanya volunter saja, sehingga menjadi hak produsen
untuk menyerahkan produksinya kepada MUI, “MUI tidak berhak memaksa produsen,
karena ini sifatnya hanya volunter,” ujarnya, Sabtu (7/7).
Selain itu, Adi menuturkan bahan baku obat di Indonesia masih
mengimpor dari negara luar sehingga Indonesia tidak dapat mengontrol bahan baku
tersebut, Indonesia hanya sekadar meraciknya.
Ia menambahkan, belum ada teknologi
yang mampu untuk mengidentifikasi apakah obat tersebut halal atau haram. Jadi,
kejelasan status halal-haramnya tergantung pada produsen dengan
menginformasikan bahan baku yang menjadi sumber utama obat tersebut.
Gita Nawangsari