Pada era
globalisasi saat ini, tiap
umat beragama berhadapan
dengan rangkaian tantangan
yang tidak jauh
berbeda dari yang
pernah terjadi sebelumnya. Perbedaan agama
merupakan fenomena nyata
yang ada dalam
kehidupan. Karena itu,
lahirlah toleransi yang
sangat penting perannya.
Menurut Wikipedia, pengertian toleransi
adalah sikap dan
perbuatan yang melarang
adanya diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok yang berbeda
atau tidak dapat
diterima oleh mayoritas
dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah
toleransi beragama, dimana penganut
mayoritas dalam suatu
masyarakat mengizinkan keberadaan
agama-agama lainnya.
Tiap agama
mengajarkan toleransi
“Bagi kalian
agama kalian, dan bagi
kami agama kami.” Ayat tersebut
tertera dalam surat (Al-Qur’an) Al-Kafirun
ayat 6 yang menggambarkan toleransi
dalam agama Islam. Selain
ayat diatas, banyak ayat
lain yang tersebar
di berbagai surat, praktik toleransi
dalam sejarah Islam, dan
hadis Rasulullah, seperti “Agama
yang paling dicintai
Allah adalah agama
yang lurus dan
toleran.”
Tak hanya
Islam, lima dari enam agama
yang diakui di
Indonesia, yakni Islam, Kristen,
Katolik, Buddha, Hindu, dan Kong Hu
Chu, juga mengajarkan,
bahkan menganjurkan untuk
saling bertoleransi antar
umat. Seperti ucapan dalam
ajaran agama Katolik, sebagaimana tercantum
dalam Deklarasi Konsili
Vatikan II tentang
sikap terhadap agama-agama
lain, yang berpegang teguh
pada hukum yang
paling utama, yakni “Kasihanilah Tuhan
dengan segenap hatimu
dan segenap jiwamu
dan dengan segenap
hal budimu dan
dengan segenap kekuatanmu. Kasihanilah sesama
manusia seperti dirimu
sendiri.”
Isi deklarasi
diatas menggambarkan bahwa
pada dasarnya manusia
memiliki hak yang
sama, tidak ada rasa
untuk membeda-bedakan meski
berlainan agama. Juga memiliki
sikap saling menghormati
agar tercipta kehidupan
yang rukun dan
damai.
Agama lain
pun mengajarkan pula
tentang masalah kerukunan. Dalam pandangan
agama Hindu untuk
mencapai kerukunan antar
umat beragama, manusia harus
memiliki dasar hidup
yang disebut Catur
Purusa Artha, yang mencakup
Dharma, Artha, Kama, dan Moksha.
Dharma artinya susila
dan berbudi luhur. Dengan
Dharma, seseorang akan mencapai
kesempurnaan hidup, baik untuk
diri sendiri, keluarga dan
masyarakat. Artha, yakni kekayaan
yang memberi kepuasan
hidup. Kama pun diperoleh
berdasarkan Dharma. Moskha berarti
kebahagiaan yang abani, yakni
tujuan akhir dari
agama Hindu yang
tiap saat selalu
dicari sampai berhasil. Upaya mencari
Moskha juga beerdasar
pada Dharma.
Keempat dasar
inilah yang merupakan
titik tolak terbinanya
kerukunan antarumat beragama. Keempat dasar
tersebut memberikan sikap
saling menghormati dan
saling menghargai keberadaan
umat beragama lain. Tidak
saling mencurigai, juga tidak
saling menyalahkan.
Sedangkan menurut
agama Buddha, berkembangnya perpecahan
dan hancurnya persatuan
serta kerukunan mengakibatkan
pertentangan dan pertengkaran. Sang Buddha
bersabda dalam Dharma
pada ayat 6, yakni
“Mereka tidak tahu
bahwa dalam pertikaian
mereka akan hancur
dan musnah, tetapi mereka
yang melihat dan
menyadari hal ini
akan damai dan
tenang.”
Dalam pandangan
Kristen Protestan, aspek kerukunan
hidup beragama dapat
diwujudkan melalui Hukum
Kasih yang merupakan
pedoman hidup, yakni mengasihi
Allah dan sesama
manusia. Kasih merupakan hukum
utama dan yang
terutama dalam kehidupan
umat Krsiten. Landasan kerukunan
menurut agama Protestan
bersandar pada Injil
Matius 22:37.
Pandangan terakhir, yakni dari
agama Kong Hu
Chu, manusia memiliki lima
sifat mulia untuk
menciptakan kehidupan harmonis, yakni Ren (cinta
kasih), Gi (solidaritas), Lee (sopan
santun), Ce (bijak, pengertian
dan kearifan), dan Sin (rasa
percaya). Memperhatikan
ajaran Kong Hu
Chu tersebut, lima sifat
mulia tersebut sangat
menekankan hubungan yang
harmonis antara sesama
manusia dengan manusia
lainnya, tanpa membedakan agama
dan keyakinan, disamping hubungan
harmonis dengan Tuhan
dan serta lingkungannya.
Terbukti, tiap agama
mengajarkan untuk saling
mengasihi dan menyayangi
tiap umat tanpa
memandang keyakinannya. Sayangnya,
lagi-lagi konflik antar
umat beragama terjadi
untuk kesekian kalinya di
Indonesia. Hal tersebut tercerminkan
dari hasil survei
yang dilakukan oleh
Badan Pengurus Setara
Institut (BPSI) tentang keberagaman
publik. Hasil survey menyatakan, sebagian besar
responden, yakni 45,9%,
membuktikan bahwa keberlangsungan kemajemukan
di Indonesia sedang
terancam.
Kemajemukan di Indonesia
terancam
Wakil BPSI, Bonar Tigor Naipospos memaparkan,
kemajemukan di Indonesia
terancam akibat kemerosotan
toleransi antar umat
beragama akhir-akhir ini. Hasil
dari survei yang dilakukan oleh BPSI terhadap
3000 responden di 47 Kabupaten pada 10-25
Juli 2011 lalu
ialah sekitar 55,4% responden
menyatakan sangat setuju
dan setuju toleransi
antar umat beragama. Sepuluh provinsi
dilakukan survei dengan
metode random, yakni Jakarta, Jawa
Barat, Yogyakarta, Jawa Timur,
Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan
Sumatera Barat.
“Sikap-sikap intoleransi dalam
pandangan keagamaan semacam
itu, berdasarkan persepsi responden
dapat mengalami intensitas
yang berpeluang bagi munculnya
tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama,” paparnya, Kamis (21/6). Bonar menambahkan, survei ini
bertujuan untuk mengetahui
pandangan publik dan
menghimpun langkah apa
yang harus dilakukan
oleh negara menganai
persoalan keagamaan.
Upaya memperbaiki
toleransi antar umat beragama
Menanggapi langkah
yang harus dilakukan
untuk menumbuhkan rasa
toleransi antarumat di
Indonesia, salah satu aktivis
HAM pada Organisasi
Kerjasama Islam, Siti Ruhaini
Dzuhayatin menegaskan, tiap umat
Islam hendaknya selalu
melakukan upaya dialog
dalam tiap pandangan, baik antar
sesama umat Islam
sendiri maupun dengan
umat lain. “Tantangan peradaban
global saat ini
menuntut umat manusia
untuk saling menghormati
keyakinan, agama, dan pandangan masing-masing,” lanjutnya, Jumat (22/6).
Ruhaini melanjutkan, masalah toleransi
umat beragama akan
terselesaikan jika umat
Islam dan umat-umat
lainnya ikut memperjuangkan nilai-nilai
toleransi antar umat
beragama, sikap moderat,
menentang segala bentuk
ektrimisme, tindakan kekerasan,
terorisme, menoleh Islamphobia, dan memediasi
negara-negara untuk memberikan
perlindungan terhadap hak tiap orang.
“Hal itu dilakukan
agar antar penganut
agama dapat hidup
berdampingan secara damai,” tegasnya.
Sementara itu, menurut
dosen Civic Education
Fakultas Ilmu Dakwah
dan Komunikasi (FIDKOM), M.
Hudri, solusi dari masalah
toleransi antar umat
beragama dapat diatasi
dengan dua cara. “Cara
yang pertama, yakni menyelesaikan
dengan cara hukum. Sudah
ada undang-undang yang
mengatur tentang toleransi
antar umat beragama
di Indonesia. Namun, cara hukum
dilakukan jika sudah
terjadi kasus atau
konflik yang merugikan
banyak pihak. Sedangkan cara
yang kedua adalah
dengan musyawarah mufakat,” paparnya, Kamis (21/6).
Diluar pandangan
Islam, menurut pandit (pendeta) di
pura Aseman Desa
Kerambitan, Shri Dhanu menuturkan, upaya untuk
mengendalikan toleransi antar
umat beragama adalah
dengan memahami kembali
fungsi dan peranan
agama kehidupan umat
manusia, yakni faktor motivatif
yang mendorong manusia
meningkatkan kualitas hidupnya. “Selain itu, ada
faktor inovatif yang
mendorong untuk berkreasi
dan mengadakan pembaharuan, faktor insfiritif
yang memberikan inspirasi
untuk mengabdi kemanusiaan, faktor edukatif
yang mendidik diri
manusia mencapai kedewasaan, dan faktor
sublimatif yang mengubah
diri dari yang
tidak baik menjadi
baik,” tuturnya, Jumat (29/6).
Gita
Juniarti