Entah
berapa banyak lagi solusi yang ditawarkan untuk mencapai cita-cita “Negara
merdeka”. Yang jelas, masih banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia, ramai gugatan sepi tanggapan.
Masih segar
diingatan kita kasus yang menimpa warga Mesuji, Provinsi Lampung, kasus
sengketa lahan sawit seluas 1533 ha antara warga setempat dengan PT. Sumber
Wangi Alam yang berakhir dengan tragedi pembantaian terhadap petani tak
bersenjata.
Tindakan
ini tidak pernah oleh Negara disebut sebagai pelanggaran HAM berat. Malah di
tengah situasi duka, aparat masih menjalankan kriminalisasi kepada warga yang
menjadi korban. Yang menjadi pertanyaan karena keterlibatan aparat polisi dalam
semua kasus justeru bukan untuk meredam konflik melainkan melindungi perusahaan
yang bersangkutan. Polisi pun dengan mudah memuntahkan peluru ke arah
masyarakat tanpa mengikuti Standar Oprasional Prosedur (SOP). Tidak
mungkin polisi Indonesia tega membunuh saudara sebangsanya jika tidak
diiming-imingi uang oleh perusahaan tersebut.
Bukan
hanya polisi, badan pertahanan juga memiliki andil besar dalam kasus ini.
Seharusnya departemen tersebut melakukan pengawasan ke lokasi dan memberikan
respon cepat ketika terdapat pengaduan oleh warga, bukannya sibuk menerbitkan
Hak Guna Usaha (HGU) dan mengabaikan sengketa.
Demikian
pula dengan Komnas HAM, warga Desa Sritanjung melapor kepada Komnas HAM sejak
Baharudin Lopa masih menjabat. Namun, apa yang diadukan sepi tanggapan. Ketiga
lembaga yang seharusnya dapat mengayomi masyarakat yang tertindas justeru
melawan arah, mereka lebih memihak kepada perusahaan yang berkuasa.
Selain
kasus Mesuji, ada pula pelanggaran HAM yang sudah 6 tahun terakhir belum
menemukan titik kejelasannya. Pemerintah tidak tegas terhadap perusahaan yang
pertama kali membuat kebocoran dalam pengeboran minyak sehingga menyebabkan
lumpur panas keluar dari perut bumi. Akibat ketidaktegasan itulah masalah
meluas hingga banyaknya penduduk Sidoarjo yang harus kehilangan tempat tinggal.
Berpihak
pada yang berkuasa
Sebagai insan yang melek media, tentu kita semua tahu akan kejadian pilu yang terjadi di Mesuji dan Sidoarjo. Sengketa dan pengeboran lahan malah berbuntut petaka. Merujuk pada apa yang pernah dikemukakan Karl Marx dalam teorinya bahwa dalam ekonomi kapitalis terdapat dua kelas sosial. Pertama adalah kaum kapitalis atau borjuis sebagai kaum pemilik modal. Kedua adalah kaum buruh atau proletar yang tidak memiliki modal.
Benang merah yang menjadi penghubung dari kasus yang terjadi di Mesuji, Sidoarjo atau mana pun adalah di setiap tempat tersebut selalu ada perusahaan yang berkepentingan di area milik masyarakat.
Perusahaan
dianalogikan sebagai kaum kapitalis, sementara warga dianalogikan sebagai kaum
proletar. Dari situlah konflik kepentingan antara kaum kapitalis dan proletar
terjadi. Konflik pun bertambah parah dengan adanya keterlibatan aparat penegak
hokum yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat malah menjadi
“centeng” pemilik kekuasaan.
Sebut
saja pada kasus lumpur lapindo, pemerintah sengaja melemahkan diri untuk
mengusut kasus lumpur panas Sidoarjo. Lagi-lagi karena pemerintah lebih
berpihak pada pemilik Lapindo Brantas Ins, Aburizal Bakrie. Kekayaan serta
kekuasaan yang dimilikinya membuat pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.
Akibatnya, Pelanggaran HAM terus terjadi dan Negara terkesan menjual Hak Asasi
Warga Sidoarjo ke Lapindo Brantas Ins.
Yang
penting mencari keuntungan
Ciri
yang paling mudah dikenali dari kapitalisme adalah hasrat untuk mengeruk lalu
mengakumulasikan kapital atau keuntungan materi. Karena akumulasi itulah yang
membuat kapitalisme lestari. Perusahaan sebagai agen-agen diciptakan dengan
naluri tersebut. Bahkan jika diperlukan, apapun akan dilakukan untuk menjamin
terjadinnya proses akumulasi kapital tersebut.
Apa
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Mesuji dan Sidoarjo adalah dalam
rangka memastikan agenda untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Pada kasus
Mesuji, ketersediaan lahan yang luas untuk produksi kelapa sawit mengabaikan
persoalan status tanah dan melupakan hak warga.
Dalam
kasus Mesuji untuk dapat menjalankan misinya, perusahaan harus berkuasa atas
alat produksi dan sumber daya. Agar dapat menguasai semua itu perusahaan harus
memiliki alat yang efektif, yaitu kelompok dan institusi yang memiliki senjata,
sekaligus menganut nilai-nilai yang membenarkan pengunaan kekerasan.
Dalam kasus ini kekerasan dinilai sebagai cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik. Kekerasan juga diberi nilai dalam maskulinitas “jawara” dalam memenangkan sebuah pertarungan atau kekerasan. Dengan kata lain, kekerasan merupakan alat untuk menjaga atau melestarikan struktur kapital dalam masyarakat, tempat sang “jawara” tinggal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekerasan secara sengaja digunakan oleh perusahaan untuk menjaga dan melestarikan struktur yang menopang kapitalisme yang hierarkis dan menindas. Satu hal yang mereka pikirkan, yakni mendapat keuntungan.
Kemiskinan alasan utama
Kemiskinan membuat mereka dengan mudah ditindas atau seseorang tertindas karena pihak lain yang lebih kaya. Dari kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konglomerat dengan mudah menindas rakyat kecil dengan uang dan kekuasaan yang mereka miliki. Apalagi kebanyakan korban berasal dari keluarga yang berekonomi rendah atau miskin.
Dengan alasan inilah kaum kapital dengan mudah mempermainkan, mengeksploitasi, dan melecehkan HAM kaum proletar.
Padahal dalam Undang-Undang Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, jelas dikatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Maka dari itu, semua orang wajib untuk menghormati, menghargai dan melindungi HAM tanpa melihat status ekonomi, ras, agama, suku seseorang.
Nur Azizah, Mahasiswi Semester 2, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasii, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta