Kecenderungan pemikiran filsuf barat
mengenai sains, yang hanya percaya pada konsep realita empiris (nyata, dapat
dilihat dan diraba) saja, menjadikan lebih dari 60 persen mereka adalah atheis
(anti Tuhan). Padahal, konsep tersebut sebenarnya dapat dikembangkan sebagai
proses untuk lebih mengenal Tuhannya.
Begitulah pemaparan Maman Kh dalam acara
“Seminar dan Bedah Buku Pola Berpikir Sains Membangkitkan Kembali Tradisi
Keilmuan Islam” di ruang teater lantai 2, Fakultas Sains dan Teknologi (FST).
Selain Maman Kh, acara tersebut juga menghadirkan peneliti Bakosurtanal LIPI
Bogor dan dosen Pascasarjana Universitas Paramadina, Fahmi Amhar, sebagai
pembedah buku, Selasa (17/7).
Sebagai penulis buku, Maman Kh mengaku,
buku “Pola berpikir Sains” adalah hasil serangkaian diskusi yang dielaborasi,
ditulis dan didesain dengan memadukan agama dengan sains. Serta disesuaikan
dengan kebutuhan akademik untuk mendorong mahasiswa melakukan penulisan dan
riset yang bermuara pada keislaman.
Untuk membuktikan keterkaitan itu, Maman Kh
menambahkan, Hal yang dilakukan pertama adalah merombak terlebih dahulu
pemikiran mengenai realitas empiris. Ini bertujuan agar sains dan agama dapat
dipadukan.
Selain itu, Ilmuan juga harus berpikir
lebih lanjut mengenai penelitiannya berdasarkan realitas. Empiris yang
merupakan kebenaran paling rendah juga harus ditindak lanjuti dalam proses
pemahaman hal-hal ghaib, tambahnya.
Selanjutnya Fahmi Amhar menjelsakan
mengenai 5 hubungan sains dan islam. Pertama sains neo tradisionalis, yaitu
menemukan sains di dalam Al qur’an dan Hadist tanpa mengelaborasikannya
terhadap realitas empiris. Kedua, islamisasi sains merupakan kesadaran akan
keislaman sains tetapi tidak menghasilkan hal yang baru.
Selanjutnya adalah sainstifikasi islam,
semua nilai islam yang mengandung sains, dapat menghasilkan penemuan baru.
Kemudian, sains islam, dalam sains islam agama lah yang mendorong meneliti
dengan syariat islam. Dan terakir Sains Ittihadi, membahas sesuatu yang
tidak empiris dan bersifat makro, dimana sepenuhnya dasar teori ini berasal
dari islam.
Ketua pelaksana seminar dan bedah buku,
Entis Somantri menjelaskan, acara ini bertujuan untuk membangkitkan tradisi
islam dan sains serta caranya. “Semoga, buku ini dapat menjadi panduan
perkuliahan,” harapnya
Salah satu peserta Erik Mahfud Fathoni, Fakultas Syari’ah dan
Hukum, merasa puas dengan acara yang disuguhkan. “Acara ini dapat menambah
wawasan mengenai sains serta mengaitkan antara tradisi islam dengan ilmu
modern,” tambahnya. (Adi Nugroho)