Tiga
orang berwajah garang menyambangi rumah Oca, si kembang desa pemikat hati para
lelaki di kampungnya. Namun, keinginan mereka untuk bertemu dengan Oca tak
kesampaian. Alih-alih ingin berjumpa dengan Oca, mereka justru bertemu bang
haji, ayah Oca.
Tak ada rotan,
akar pun jadi. Tak ada Oca, ayahnya pun jadi. Tidak mau melewatkan kesempatan
begitu saja, tiga orang suruhan juragan ini langsung menyampaikan maksud
kedatangnnya. “Tujuan kite kemari buat ngelamar neng Oca jadi bini
juragan kite,” ucap salah seorang suruhan dengan logat Betawinya.
Mendengar
itu, Bang haji pun kaget. Dengan sedikit memincingkan mata, ia mengitari tiga
orang suruhan juragan. “Bilangin sama juragan loe, punya ape
die? Berani-beraninye ngelamar anak gue,” ucap bang haji
sembari tolak pinggang dan mengangkat dagunya.
Merasa
harga diri juragannya dijatuhkan, mereka pun menawarkan akan memberikan
sebidang tanah di kawasan Serengseng dan sejumlah uang yang telah mereka
siapkan. Bang haji langsung berpikir cepat. Ia menerima tawaran tersebut
lantaran iming-iming harta. “Oke, besok jam 1 siang suruh juragan loe
datang buat nikahin si Oca,” tegasnya.
Tak
lama setelah rombongan juragan pulang, datanglah Bang Bewok, perampok dengan
tiga orang anak buahnya. Kedatangan mereka langsung disambut ibu Oca sambil
menatap sinis.
Tidak
mau basa-basi terlalu lama, mereka langsung menyampaikan tujuan kunjungannya.
Tidak lain tidak bukan adalah untuk melamar Oca juga. Spontan Ibu Oca langsung
menolak dengan alasan anaknya tidak akan bahagia hidup dengan seorang perampok
yang tidak memiliki pekerjaan dan iman.
Hati
ibu Oca lama-lama luluh setelah disuguhi uang seransel. Ia pun menerima lamaran
Bang Bewok. Hari pernikahan Oca dan Bang Bewok pun jatuh pada Senin jam 1
siang. Bang Bewok pulang dengan hati gembira.
Tepat
pada waktu yang telah ditentukan, rombongan Bang Bewok dan juragan bertemu.
Konflik pun terjadi, mereka saling memperebutkan Oca. Orangtua Oca kaget karena
kejadian tersebut. Mereka tidak tahu kalau ternyata jadwal yang mereka berikan
bentrok.
Sampai
pak penghulu datang, kedua kubu masih berselisih. Sedangkan yang mereka
perebutkan (Oca) masih berdiam di kamar karena stres berat. Akhirnya, penghulu
bertanya kepada Oca, laki-laki mana yang akan ia pilih sebagai calon suaminya.
Ternyata,
tidak ada satupun lelaki yang dipilih karena semuanya tidak masuk dalam
krikteria Oca. Selain itu, ia tidak mau menikah muda karena ia ingin sekolah
dahulu. Ia berpikir, sudah saatnya anak perempuan Betawi mempunyai pendidikan
yang tinggi dan mengapai cita-citanya.
Begitulah
kisah Lenong yang diselenggarakan di Hutan Kota Serengseng, Sabtu (9/6). Lenong
ini merupakan salah satu dari rangkaian Festival Budaya Betawi untuk menyambut
ulang tahun Jakarta yang ke-485. Tersirat pesan, sudah saatnya anak perempuan
Betawi maju. Bukan hanya mengurus dapur, sumur, dan kasur.
Pimpinan
sanggar si Pitung, Bachtiar berharap, budaya Betawi seperti ini harus terus
dikembangkan agar tidak termakan oleh jaman dan budaya Betawi menjadi budaya
yang terhormat.
Acara
ini juga disambut baik oleh para penonton yang hadir pada saat itu. Salah
satunya Siti Fatimah, warga Kebon Jeruk ini mengatakan, “Acara ini bagus
sebagai ajang memperkenalkan budaya Betawi kepada masyarakat yang bukan dari
suku Betawi,” jelasnya ramah. (Nur Azizah)