Judul : Anak-Anak Langit
Penulis : Mohd Amin MS
Penerbit : Pustaka Alvabet
Isi : 508 Halaman; 13 x 20 cm
Terbit : Juli 2011
ISBN : 978-602-9193-04-6
Terkadang hal yang manusia inginkan tak diperoleh tapi hal yang manusia tidak inginkan, itu yang diperoleh. Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, melainkan memberikan apa yang kita butuhkan.
Mohd Amin MS, Dosen luar biasa UIN Susak Riau, saat ini sebagai jurnalis Riau Pos membuat novel yang berjudul Anak-Anak Langit. Novel ini terinspirasi kisah nyatanya saat bersekolah di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Koto Baru Padang Panjang, Sumatera Barat.
Ia menceritakan sebuah pesantren modern yang didirikan oleh Departemen Agama, pesantren yang menurutnya tempat bagi anak-anak cerdas dan berkemauan keras, serta mencetak ulama-ulama muda yang kian langka. Pesantren itu berada di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Merapi, bernama ‘Dakhiliyah Darul Falah al-Madrasah al-‘Aliyah al-Khasshah’ atau Madrasah Aliyah Khusus (MAK).
Dalam novel ini, Mohd Amin menggunakan tokoh pemuda bernama Simuh asal Bengkalis. Ia ingin mempelajari sains lebih banyak di SMA Wahidin, tapi sang abah mengharamkan anak-anaknya masuk ke SMA Wahidin. Karena takut anak-anaknya terpengaruh budaya dan agama orang Tionghoa, mereka jadi musyrik. Trauma masa lalu tentang peristiwa kerusuhan Bagan Si api-api masih lekat di kepala abah.
Simuh berkeyakinan bahwa jaman telah berubah, yang ia lihat anak-anak Tionghoa baik dan cukup ramah. SMA Wahidin bukan sekolah khusus warga Tionghoa, sebagian besar guru-gurunya orang Melayu. Sayangnya, ia terjebak dalam asumsi dan ketakutannya sendiri untuk memberitahu abahnya, sehingga ia melewatkan masuk SMA Wahidin, padahal abahnya setuju
Setelah gagal masuk SMA Wahidin, dengan terpaksa ia masuk ke Madrasah Aliyah Khusus (MAK), karena sang abah ingin anaknya jadi orang alim. Setelah masuk, ia malah bangga bisa berada di MAK, sekolah hebat. Ia kagum dengan teman-temannya, para calon ulama dan pemimpin umat bersaing menjadi yang terbaik.
Anak-anak langit dalam MAK ini diumpamakan sebagai orang-orang terpilih, yang akan memberikan pencerahan dan kedamaian pada umat. Ada Zulfariadi dan Burmal yang ahli bahasa Inggris dan Arab, Hendra yang memiliki kecerdasan imajinatif, Azwar yang memiliki kecerdasan matematis, Mursalin, Hendra, Rinaldi, dan Haris, para filosof muda.
Banyak lika-liku mewarnai perjuangan anak-anak rantau ini dalam menimba ilmu. Imam as-Syafi’i pernah berkata, “Orang berilmu dan beradab tak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu, lalu merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, maka akan kau dapatkan pengganti kerabat dan kawan. Berpayah-payahlah, manisnya hidup akan terasa usai payah berjuang.”
Rasa penasaran memang menjadi pangkal dari segala dosa, seperti rasa penasaran Adam terhadap buah Khuldi. Itu pula yang terjadi pada Simuh dan teman-temannya, karena rasa penasaran setiap malam diam-diam menonton Film Friday The 13th. Perseteruan dengan anak-anak Madrasah Aliyah Negeri (MAN), pencarian jati diri dan lainnya.
Buku ini memberikan motivasi bagaimana kehidupan remaja yang berjuang menggapai cita-cita dipadukan dengan peribahasa dan metafora. Selain itu, interaksi antara guru dan murid (anak-anak langit) menjadi salah satu kelebihan novel ini, diskusi menjadi kanal yang efektif untuk berbagi wawasan dari kepala-kepala yang berbeda pemikiran. Karena kini, budaya diskusi hampir hilang pada pemuda-pemuda Indonesia.
Maka, novel ini juga berguna bagi sivitas akademik untuk memunculkan kembali budaya diskusi. Namun, sayangnya dalam penulisan kata-kata daerah yang terkadang membingungkan pembaca. (Anastasia Tovita)