![]() |
Anhar Gonggong dalam seminar menggali akar sejarah dan
nilai-nilai pancasila
|
UIN Jakarta, INSTITUT- Perbandingan terbalik antara pejabat pemerintahan
bergelimang mobil dinas mewah dengan tertinggalnya pendidikan serta perhatian
terhadap kaum marjinal, mengugurkan sila keadilan sosial untuk seluruh
masyarakat Indonesia sebagai butir sila keempat.
Ironisnya,
penyimpangan nilai-nilai Pancasila seringkali datang dari kaum berpendidikan
dan memiliki posisi penting dalam tatanan pemerintahan. Pancasila yang dahulu
diagungkan serta dirancang oleh kaum terdidik dan tercerahkan, kini mulai
meredup sinarnya.
Hal tersebut
diutarakan oleh Anhar Gonggong, Sejarawan Senior UI dalam Seminar Nasional
bertajuk Menggali Akar Sejarah dan Nilai-Nilai Pancasila yang diselenggarakan
atas kerjasama Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam
(HMJ-SPI), Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) dengan Studi Sejarah dan Peradaban
(STUPA), Senin, (11/6).
“Seminar yang
diselenggarakan sebagai peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni ini,
bertujuan untuk mengembalikan konsep ideologi Pancasila serta aplikasinya yang
saat ini tidak sejalan,” ujar Sukron Amin, ketua HMJ-SPI. Sukron mengatakan,
saat ini Pancasila telah kehilangan ruhnya lantaran tergerus arus globalisasi
yang melanda Indonesia.
Hal ini juga
dibenarkan Anhar, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mulai
menjadi guratan sila-sila tertulis, tanpa tindak pengaplikasian dalam
berbangsa. Diperparah kerasnya unsur kepentingan serta derasnya arus
globalisasi, wujud nyata Pancasila menjadi kian ditinggalkan oleh pemuda
Indonesia dan bahkan kalangan elit politik negeri ini.
Maraknya kemiskinan
serta tingginya tingkat pengangguran mengisyaratkan negeri ini belum mampu
merealisasikan ideologinya selama 67 tahun kemerdekaan. “Belum ada pemerintah
Indonesia bertindak Pancasilais, bahkan banyak dari mereka nyata-nyata
menindas Pancasila,” tegas Anhar.
Dia juga
mengatakan, permasalahan pelik negeri ini bukanlah pada posisi Pancasila
sebagai ideologi bangsa, namun bagaimana realisasi nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar negara dapat menghantarkan Indonesia menuju bangsa yang terdidik
dan tercerahkan.
Anhar mengutarakan,
toleransi dalam beragama serta kesejahteraan yang merata untuk semua masyarakat
merupakan sejumlah contoh wujud nyata aplikasi Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari.
Dia menambahkan,
mahasiswa sebagai generasi emas penerus bangsa perlu untuk menerapkan langkah-langkah
konkret seperti aktif dalam kepengurusan organisasi namun tidak meniggalkan
kecerdasan intelektualnya sebagai mahasiswa.
Syifa Fauziah,
mahasiswa semester 2, Jurusan SPI, FAH, salah satu peserta seminar
mengatakan, acara seminar nasional yang dibuka untuk umum ini sangat baik untuk
menggali Pancasila serta membuka pandangan mahasiswa bahwa ideologi bangsa
belum terealisasi. Sebagai mahasiswa sejarah, dia sangat terbantu dalam
mempelajari akar
Keterangan berbeda
diutarakan oleh Septian Eko Sucianto, mahasiswa semester dua Jurusan Bahasa dan
Sastra Inggris (BSI), Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), yang juga menjadi
salah satu peserta seminar. Sebagai mahasiswa yang tidak terkonsentrasi di
program studi sejarah, dia tidak mendapatkan klimaks dari inti seminar nasional
ini. (Adea Fitriana) UIN Jakarta, INSTITUT- Perbandingan terbalik antara pejabat pemerintahan
bergelimang mobil dinas mewah dengan tertinggalnya pendidikan serta perhatian
terhadap kaum marjinal, mengugurkan sila keadilan sosial untuk seluruh
masyarakat Indonesia sebagai butir sila keempat.
Ironisnya,
penyimpangan nilai-nilai Pancasila seringkali datang dari kaum berpendidikan
dan memiliki posisi penting dalam tatanan pemerintahan. Pancasila yang dahulu
diagungkan serta dirancang oleh kaum terdidik dan tercerahkan, kini mulai
meredup sinarnya.
Hal tersebut
diutarakan oleh Anhar Gonggong, Sejarawan Senior UI dalam Seminar Nasional
bertajuk Menggali Akar Sejarah dan Nilai-Nilai Pancasila yang diselenggarakan
atas kerjasama Himpunan Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam
(HMJ-SPI), Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) dengan Studi Sejarah dan Peradaban
(STUPA), Senin, (11/6).
“Seminar yang
diselenggarakan sebagai peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni ini,
bertujuan untuk mengembalikan konsep ideologi Pancasila serta aplikasinya yang
saat ini tidak sejalan,” ujar Sukron Amin, ketua HMJ-SPI. Sukron mengatakan,
saat ini Pancasila telah kehilangan ruhnya lantaran tergerus arus globalisasi
yang melanda Indonesia.
Hal ini juga
dibenarkan Anhar, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mulai
menjadi guratan sila-sila tertulis, tanpa tindak pengaplikasian dalam
berbangsa. Diperparah kerasnya unsur kepentingan serta derasnya arus
globalisasi, wujud nyata Pancasila menjadi kian ditinggalkan oleh pemuda
Indonesia dan bahkan kalangan elit politik negeri ini.
Maraknya kemiskinan
serta tingginya tingkat pengangguran mengisyaratkan negeri ini belum mampu
merealisasikan ideologinya selama 67 tahun kemerdekaan. “Belum ada pemerintah
Indonesia bertindak Pancasilais, bahkan banyak dari mereka nyata-nyata
menindas Pancasila,” tegas Anhar.
Dia juga
mengatakan, permasalahan pelik negeri ini bukanlah pada posisi Pancasila
sebagai ideologi bangsa, namun bagaimana realisasi nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar negara dapat menghantarkan Indonesia menuju bangsa yang terdidik
dan tercerahkan.
Anhar mengutarakan,
toleransi dalam beragama serta kesejahteraan yang merata untuk semua masyarakat
merupakan sejumlah contoh wujud nyata aplikasi Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari.
Dia menambahkan,
mahasiswa sebagai generasi emas penerus bangsa perlu untuk menerapkan langkah-langkah
konkret seperti aktif dalam kepengurusan organisasi namun tidak meniggalkan
kecerdasan intelektualnya sebagai mahasiswa.
Syifa Fauziah,
mahasiswa semester 2, Jurusan SPI, FAH, salah satu peserta seminar
mengatakan, acara seminar nasional yang dibuka untuk umum ini sangat baik untuk
menggali Pancasila serta membuka pandangan mahasiswa bahwa ideologi bangsa
belum terealisasi. Sebagai mahasiswa sejarah, dia sangat terbantu dalam
mempelajari akar
Keterangan berbeda
diutarakan oleh Septian Eko Sucianto, mahasiswa semester dua Jurusan Bahasa dan
Sastra Inggris (BSI), Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), yang juga menjadi
salah satu peserta seminar. Sebagai mahasiswa yang tidak terkonsentrasi di
program studi sejarah, dia tidak mendapatkan klimaks dari inti seminar nasional
ini. (Adea Fitriana)