Kata orang tidak ada dana untuk perpustakaan, saya tidak
percaya. Yang tidak ada adalah prioritas sense of urgency pada
universitas dan fakultas yang tidak ada, pada staf pengajar tidak ada, pada
mahasiswa pun tidak ada. Mana ada mahasiswa Fakultas Sastra unjuk rasa karena
keadaan perpustakaannya menyedihkan dan menjengkelkan.
Sepenggal kritik Andries Teeuw, sastrawan
Belanda terhadap kondisi mahasiswa sastra yang acuh terhadap perpusatakan yang
terabaikan. Kritik itu dibacakan kembali Ayu Utami dalam acara memperingati
kepergian A. Teeuw, sang kritikus sastra sebulan lalu. Acara yang bertajuk
Malam untuk A.Teeuw ini diselenggarakan di Teater Salihara, Selasa (12/6).
Selain Ayu Utami, Sitok Srenggenge dan
Sapardi Djoko Damono, sastrawan-sastrawan Indonesia pun turut hadir dalam
acara. Goenawan Mohamad (GM) dalam sambutannya menceritakan tentang A. Teeuw
yang datang ke Indonesia sebagai salah satu doktor berusia 26 tahun. Kedatangan
pertamanya ke Indonesia untuk melakukan riset di pulau Lombok.
Dalam catatan pinggir GM, setelah menetap
di Indonesia, A.Teeuw lebih tertarik pada naskah-naskah tua, seperti Bhomantaka
yang merupakan puisi dari Jawa Timur, menurutnya tidak ada bangsa yang seperti
Indonesia karena selama beratus-ratus tahun banyak kitab-kitab kuno yang
dihasilkan secara turus-menerus. Itulah jalan A. Teeuw menembus sastra
Indonesia.
A. Teeuw dikenal sebagai penelaah dan
kritikus sastra Indonesia Modern. Tetapi ia sendiri tidak merasa nyaman dengan
label seperti itu. “Saya sebenarnya bukan kritikus, yang saya lakukan hanya
mengisi kekosongan,” kata A. Teeuw dikutip GM.
A.Teeuw ingin menjadi pemandu bagi mereka
yang baru memepelajari sastra. Sebab itu pula ia mengetahui dan menempatkan
dirinya sebagai “orang luar,” seperti kata penyair dan kritikus Sapardi Djoko
Damono, A. Teeuw cenderung berhati-hati.
Ketajaman dan kepekaan A.Teeuw menangkap
gerak bahasa, hingga saat ini belum dilanjutkan apalagi ditandingi oleh telaah
sastra di perguruan tinggi Indonesia. “Dalam menelaah sebuah karya, Teeuw
membedakan diri dari penelaah lainnya, karena ia tidak memakai ukuran sejarah
Barat. Ia memandang sastra sebagaimana orang Melayu memandang sebagai karya
sastra yang asik dinikmati,”
Dengan karya-karyanya, almarhum ingin menyampaikan kepada kita
bahwa manusia adalah makhluk yang bercerita, yang bersastra dengan berimajinasi
yang ganjil, tidak pasti, tidak mandek, tapi dengan demikian selalu baru dan
hidup kembali berkali-kali. (Adi Nugroho)