Buku :
Polemik Kebudayaan
Oleh : Achdiat Kerta Mihardja
Tebal :
174 hal
Penerbit : PT
Dunia Pustaka Jaya
Buku Polemik Kebudayaanadalah kumpulan
artikel-artikel yang memuat pokok pikiran dari Sutan Takdir Alisjahbana (STA),
Sanusi Pane, Dr. Poerbatjaraka, Dr. Soetomo, Tjindarboemi, Adinegoro, Dr. M.
Amir, dan Ki Hajar Dewantara.
Buku ini menceritakan buah pemikiran para
pemimpin bangsa dimana mereka terlibat dalam suatu permasalahan besar mengenai
bagaimana masa depan bangsa Indonesia, apakah mau di bawa ke arah Kebudayaan
Timur atau Kebudayaan Barat?
STA merupakan tokoh yang paling dominan di
dalam buku ini, karena pemikirannya yang menginginkan kebudayaan bangsa
Indonesia meniru kebudayaan Barat. Menurutnya, kebudayaan Barat merupakan
kebudayaan yang sangat mapan, berjaya dan kita bangsa Indonesia harus mengikuti
kemajuan bangsa Barat.
Dalam buku ini,STA lebih mengemukakan sifat
yang rasionalisme, individualisme, positivisme. STA memberikan dinamika kepada
Barat dan masyarakatnya, ia menjelaskan sifat tersebut tidak boleh dianggap
mati, kaku, statis tetapi hidup, cair, bergerak, dan dinamis.
Namun, permasalahan timbul ketika Ki Hajar
Dewantara dan Dr. M. Amir yang menolak pandangan STA. Menurutmereka,
kebudayaan Barat tidak sesuai dengan apa yang telah menjadi adat istiadat dan
kebiasaan budaya bangsa Indonesia.
Dr.M. Amir juga menegaskan dalam sebuah
artikenya bahwa peradaban Timur yang telah memengaruhi bangsa Indonesia dalam
berbagai hal, terutama tentang adat tidak bisa diambil dan langsung digantikan
dengan budaya Barat.
Berbeda dengan STA yang memang condong ke
Barat, dan Ki Hajar dengan Dr. M. Amir yang memang menginginkan
Kebudayaan ke arah Timur. Sanusi Pane bersikap lebih memperpadukan kedua
kebudayaan, ia menyimbolkan tokoh antara Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).
Dengan kata lain, ia lebih mengambil yang baiknya saja dari kedua kebudayaan
itu.
Polemik Kebudayaanyang terjadi sekitar tahun 1930-an ini
mempunyai dampak yang hingga saat ini masih bisa kita rasakan, salah satunya
yang mempersoalkan masalah sistem pendidikan nasional. Pun dengan kebudayaan
nasional dan daerah yang ingin dipisahkan oleh STA di dalam artikelnya “Menuju
masyarakat dan kebudayaan baru”. Tetapi masalah yang timbul adalah banyak dan
beragamnya kebudayaan daerah yang menjadi penghambat prinsip daerah salah
satunya demokrasi. (Adi Nugroho)