Peserta workshop membatik bersama di pendopo Museum Tekstil Jakarta, Sabtu (2/6). |
Proses membatik itu
sama seperti jalan hidup. Kehidupan dimulai dari selembar kain putih yang bersih
tanpa noda. Kemudian terukirlah kisah-kisah hidup pada kain putih, terlukiskan
dengan segenap hati dan memberi warna. Sama halnya dengan kain batik yang
memiliki beragam motif, beda pula makna kehidupan seseorang.
Seperti
yang diungkapkan Sofitri Shaliha Pulungan, salah satu pembicara dalam acara
Green With Batik yang berlangsung di Museum Tekstil, Sabtu 2 Juni lalu. Di
tengah acara workshop yang dihadiri peserta dari berbagai kalangan ini, Sofitri
menjelaskan kekagumannya pada batik yang membuat ia kembali ke tanah air
setelah lama tinggal di Australia.
Kekaguman
Sofitri pada batik dikarenakan keindahan motif batik yang penuh makna tentang
kehidupan. Seluruh peserta workshop pun dibuat kagum oleh penjelasan Sofitri
tentang keistimewaan batik dan betapa mempesonanya batik nusantara.
Setelah
penjelasan sekilas tentang batik di nusantara, peserta disuguhkan materi utama
dalam acara workshop ini. Yaitu, batik ramah lingkungan. Batik ramah lingkungan
adalah batik yang diproduksi dengan menggunakan zat pewarna alami. Proses
produksinya juga memerhatikan dampak terhadap lingkungan sekitar dan
mengefisiensi penggunaan energi serta sumber daya bahan baku.
Pembicara
selanjutnya Yuanita Suryadini, salah salah satu pimpinan Clean Batik Initiative
(CBI). Ia berbicara tentang pentingnya batik ramah lingkungan. Yuanita
menjelaskan bahwa dulu nenek moyang bangsa kita merupakan bangsa yang
menjunjung tinggi kearifan lokal dan kelestarian alam.
Begitu
pula dengan pembuatan batik, jangan sampai dalam produksi batik menimbulkan
dampak buruk pada lingkungan. Sehingga dapat berpegang teguh pada prinsip
kelestarian alam. Menurut Yuanita, kita masih bisa melestarikan batik dengan
cara modern yang masih berpegang teguh pada prinsip kelestarian alam yang kita
miliki.
Pada
kenyataanya, proses pewarnaan batik yang digunakan oleh sebagian besar produsen
batik di Jawa, masih menggunakan zat kimia berbahaya. Limbah pembuangan airnya
juga belum dikelola dengan baik, karena tidak adanya tempat pembuangan yang
disediakan.
Selain
meteri dari para pembicara, peserta workshop juga disugguhkan video yang
ditampilkan Yuanita. Video tersebut menceritakan pengrajin batik di Jawa yang
belum memperhatikan dampak produksinya pada lingkungan sekitar. Kemudian,
peserta dapat mengetahui bahwa dampak yang terjadi dari proses produksi batik
pada lingkungan tidaklah kecil.
Video
itu menggambarkan saluran air di sekitar pabrik, yang sudah tercemar oleh zat
kimia berbahaya akibat pewarna batik. Jika tidak ditanggulangi, ini dapat
menyebabkan sumber air minum warga juga akan tercemar.
Memupuk kesadaran
peserta inilah yang menjadi tujuan diadakannya workshop Green with Batik yang
diseleggarakan oleh kepanitian GreenPChallange. Seperti yang dikatakan
Noviarani, salah satu anggota kepanitian GreenPChallange. (Nida Ilyas)