Bukan
hanya wartawan amplop yang ada di Indonesia, ada pula wartawan bodrex, wartawan
pispot, dan wartawan kloning. Najib Ayub Yasser, anggota Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP) dalam seminar bertema Tantangan Idealisme Dan
Profesionalisme Jurnalis Masa Kini, menjelaskan, wartawan bodrex adalah
wartawan yang tidak memiliki media dan menggunakan beritanya untuk
memeras narasumber atau hanya untuk mencari jatah amplop saja.
Sementara itu,
wartawan pispot adalah wartawan yang tidak bertindak secara profesional.
Wartawan pispot mencari berita tapi tidak mempersiapkan bahan wawancaranya.
“Wartawan yang hanya ikut-ikutan merekam pembicaraan narasumber, tinggal nodong
dan mengikuti alur wartawan lain,” tambah Najib. Ada pula, wartawan kloning
yaitu wartawan yang menjiplak berita orang lain.
“Dikasih
atau meminta amplop itu sama saja, karena pasti akan menganggu independensi
kita sebagai jurnalis. Tidak mungkin kita bersikap netral dan independen jika
kita sudah menerima amplop, sekalipun dalam hati,” ujar Najib.
Ia
pun mengatakan, idealisme jurnalis saat ini sedang digoyangkan oleh berbagai
macam jenis amplop. Amplop yang diberikan bukan hanya dalam bentuk uang saja,
tapi juga dalam bentuk tiket pulang kampung, paket liburan gratis, bingkisan,
souvenir, cinderamata, uang transportasi, makan, dan sebagainya.
Berbagai
macam jenis amplop ini, tambah Najib, terkadang membuat para wartawan terkecoh
dan sulit membedakan mana yang murni pemberian, mana yang berupa sogokan.
Namun, satu hal yang perlu dicatat, hakikat amplop sendiri merupakan segala
pemberian dari pihak lain atau narasumber yang dapat mempengaruhi independensi
wartawan dalam pemberitaan.
Ahmad
Baidowi, wartawan SINDO, juga berbicara tentang tantangan idealisme jurnalis
saat ini yang berbeda dari masa Orde Baru. “Dulu yang menghalangi
idealisme wartawan adalah teror dari penguasa dan aparat, tapi sekarang yang
menggoyangkannya adalah intervensi pihak lain demi kepentingan pribadi,”
ungkapnya.
Konglomerasi dan
Idealisme Media
Wahyu
Dhyatmika, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjelaskan, salah satu
faktor penyebab goyahnya idealisme jurnalis adalah konglomerasi media. Ketika
idealisme media tersebut mengintervensi ruang redaksi, maka hal itu juga akan
membahayakan idealisme sebagai jurnalis independen.
Najib
juga menimpali, jika idealisme media memangkas idealisme jurnalis, maka
jurnalis akan menyensor beritanya sendiri agar sejalan dengan idealisme media
tersebut. Masyarakat akan kehilangan haknya untuk menerima pemberitaan yang
berdasarkan fakta. “Fakta harus diungkap secara nyata pada publik. Jika tidak,
maka kitalah (wartawan) yang berkhianat pada publik,” ujar Najib tegas.
Kesejahteraan Wartawan
Selain
konglomerasi media, faktor kesejahteraan juga menjadi salah satu alasan
wartawan meninggalkan idealismenya. Banyak media yang tidak menyuplai
wartawannya dengan fasilitas yang layak.
Beberapa
media lokal di sejumlah kota yang tidak memenuhi kesejahteraan wartawannya,
sehingga banyak di antara mereka yang beralih menjadi wartawan bodrex.
“Sampai-sampai para wartawan tersebut mempertanyakan kesejahteraannya sendiri,”
ujar Najib.
Najib
mengatakan, bagaimanapun juga, wartawan membutuhkan fasilitas seperti
alat transportasi dan akomodasi saat bertugas. Jika tidak dipenuhi perusahaan,
mungkin saja wartawan akan mudah menerima amplop dari pihak lain. Dengan
begitu, isi pemberitaan wartawan tersebut akan mudah berubah dan hilanglah
independensinya.
Kesadaran Pribadi
Wartawan
Di
samping dua faktor di atas, faktor kesadaran dari wartawan juga sangat penting.
“Menjaga idealisme dan independensi bukanlah hal yang mudah,” imbuh Najib.
Menurutnya, setiap jurnalis harus dapat membedakan antara realitas dan bersikap
realistis. Jika sudah tidak dapat memegang teguh independensinya sebagai
jurnalis, sebaiknya lepaskan saja profesinya.
“Pekerjaan
sebagai jurnalis ini terlalu suci untuk dinodai dengan hal seperti itu, karena
kita bekerja untuk rakyat,” ujar Wahyu tegas. Ia juga menambahkan, masalah
mendasar ini terletak pada konsistensi jurnalis sendiri.
Bagi
Wahyu, idealisme jurnalis adalah melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik.
“Prinsip dasarnya adalah menyampaikan kebenaran, bersikap independen, dan meminimalisir
dampak buruk dari pemberitaan yang dibuat,” jelas Wahyu.
Untuk mempertahankan
idealisme dan independensi jurnalis, Najib berpendapat, wartawan harus
menjadikan profesi jurnalis menjadi pilihan utama, menjaga idealisme segigih
mungkin, dan tak sekedar mencari uang , namun juga mengedepankan nilai
pengabdian pada publik. Ketika seorang wartawan kehilangan independensinya,
maka hancurlah nilai-nilai profesionalisme dan kebanggaannya sebagai
jurnalis.
Nida Ilyas