UIN Jakarta, INSTITUT- “Novel ini tidak melulu menceritakan kisah cinta. Tapi isinya juga mengandung pelajaran moral. Saya juga memasukkan pengalaman haji saya ke dalam cerita ini,“ ujar Zulkifli L. Muchdi, penulis Asmara di Atas Haram saat acara Launcing dan Bedah Novel Asmara Di atas Haram di Aula Student Center (SC), Kamis (31/5).
Acara ini pun dihadiri Hanum Salsabiela Rais, putri Amien Rais yang juga seorang penulis, Rosida Erowati, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), dan Adhika Prasetya, editor Penerbit Erlangga. Dalam novelnya, pria asal Banjarmasin ini bercerita tentang Yasser Al-Banjari, pemuda yatim pemenang lomba Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), yang dibuat kaget bukan kepalang karena dalam rekeningnya terdapat uang Rp5 miliar. Bukannya senang Yasser malah berang, ia mendatangi bank dan menuntut manajemen bank karena disangka uang korupsi.
Kisah percintaan rumit terjadi saat ia mengijakkan kaki di Tanah Suci. Istiqomah, gadis yang dicintainya dicintai juga oleh Ferry, putra pak menteri. Di waktu bersamaan, Sofia tiba-tiba datang dengan SMS cintanya, Eva, gadis asal Ukraina turut pula masuk dalam kehidupan Yasser. “Si Yasser saya gambarkan sebagai sosok yang sempurna sikap dan sifatnya. Itu lantaran saya miris dengan kondisi bangsa yang sudah pudar sifat kejujurannya,”ujarnya.
Zulkifli juga menjelaskan launching sengaja diadakan di UIN Jakarta karena si Istiqomah, tokoh yang dicintai Yasser dalam novel merupakan asisten dosen di UIN Jakarta yang sedang pergi haji. “Saya berharap di sini (UIN Jakarta) benar-benar ada orang yang seperti tokoh Istiqomah,” katanya.
Rosida berkomentar, novel tersebut lebih romantis dari novel Di bawah Lindungan Ka’bah. “Cara pak Zul menulis tokoh sangat bagus, karena karakter para tokoh dibuat sebaik mungkin,” jelasnya. Ia juga menuturkan, isi novel tidak begitu kuat di dalam konflik keimanan dan haji, tetapi dalam novel tersebut ada wacana yang unik yaitu tentang fakta dan data tentang Indonesia.
Rosida menambahkan, novel Asmara Di atas Haram sangat berbeda dengan novel islami lain, karena di dalamnya juga ada manasik hajinya. “Tidak membosankan, kita seakan sedang haji jika membacanya,” ujarnya. Namun, Rosida menyayangkan tanda baca dalam novel tersebut masih kurang baik.
Senada dengan Rosida, Hanum Salsabiela mengatakan, orang yang belum bahkan yang sudah pergi haji jika membaca novel ini pasti rindu dengan Tanah Haram. “Tidak hanya kisah asmara yang ditonjolkan, tapi ada juga edukasinya,” paparnya.
Sedangkan menurut Adhika Prasetya, walaupun penulis novel tersebut berasal dari Kalimantan, dia tidak menonjolkan daerahya. “Novel ini lebih menunjukkan sisi kemanusiaan. Emosionalnya juga bagus,” ucapnya.
Berbeda dengan Adhika, Hayatun Nufus mahasiswa semester 6 jurusan PBSI mengatakan, novel tersebut tidak jauh beda dengan novel-novel islami lainnya. Menurutnya, novel tersebut masih lekat dengan genre muslim, terbukti dari nama-nama tokoh dalam novel. “Penulis masih belum bisa keluar dari stereotip agama,” tegasnya. (Sayid Muarief)